37.

275 13 0
                                    


                                ***

Sudah sebulan lebih Lexi tidak pernah datang lagi ke sekolah atau menampakin diri dihadapan teman-temannya. Dia hanya menemani sang mama yang terbaring di rumah sakit.

Keadaan Sarah yang semakin memburuk karena penyakitnya membuat Lexi harus siap siaga apa yang akan terjadi.

Tempat seminggu kemarin Sarah mengehembuskan napas terakhir meninggalkan semuanya termaksud meninggalkan dirinya. Hal tersebut membuat dirinya kehilangan arah karena tidak ada satupun keluarga saat ini sebagai sadaran baginya.

Sekarang Lexi tengah sendirian di sebuah taman didekat apartemennya.

"Lexi!" panggil seseorang yang berada disampinya. Senyum Lexi langsung mengembang mendengar suara, suara yang sangat dia rindukan.

"Papa," ujar Lexi langsung menumbruk tubuh jakung Vino. Vino membalas pelukan putri semata wayangnya yang telah lama terpisah dengan.

"Maafin mama," pinta Lexi. Mengingat apa perbuatan Sarah selama ini terhadap keluarga papa kandungnya terutama kepada tantenya sendiri.

Vino menatap putrinya. "Nggak ada yang perlu dimaafin, semuanya sudah terjadi," ujar Vino memegang kedua bahu putrinya.

"Makasi pa. Lexi sayang papa," ujar Lexi tulus. Lalu dia langsung memeluk Vino kembali. "Papa juga menyayangimu nak," ucapnya mencium puncak kepala Lexi.

Pertemuan yang singkat tapi mengubah semuanya. Dia bersyukur bertemu dengan papa kandungnya tepat saat pemakaman mamanya. Setidaknya semua berakhir dan kembali normal selayaknya.

***

Dilain tempat tepatnya di rumah Viona sekarang sedang heboh karena kelakuan Ravin yang menyambut kepulangan mama mertua katanya.

Semua nya berkumpul termaksud Samuel dia telah kembali sejak minggu lalu, bahkan Andra pun sekarang bersama meteka ntah angin mana yang membawa dia kesini. "Ravin lo bisa diam nggak," pekik Glady tepat didekat gendang telinga Ravin.

Memang sejak kejadian tersebut semuanya kemabali normal. Glady dan sania memaklumi keadaan dan mereka sekarang sudah layaknya sahabat yang sesungguhnya.

"Huaa ... tambah satu lagi. Bisa budek nih gue," ucapnya dramatis menatap Glady sinis.

Untung Tata dan Alana pergi bersama Viona menjemput tante Dea. Kalau tidak pasti dia sudah dikeroyok oleh tiga manusia yang nggak punya hati seperti mereka.

Samuel memutar bola mata malas, ini lah kalau Ravin ada suasana pasti kayak pasar sayur. Bikin rusuh dan suka teriak-teriak nggak jelas.

"Apa lihat-lihat gue ganteng makasi," ujar Ravin pdnya. Samuel berdecih melihat kelakuan sepupunya pd tingkat akut.

Memang Samuel dan Ravin sepupuan. Meraka aja baru menyadari. Ravin dan Samuel melayangkan tatap tajam tanda permusuhan.

"Udah-udah woi! Itu kayaknya mereka udah datang," imbau Candra agar mereka berhenti.

Ravin pun langsung berlari kearah pintu utama menyambut mereka semua dan diikuti yang lain.

"WELKOM MAMA MERTUA," heboh Ravin menyalami tangan Dea pertama.
Sedankan yang lain geleng-geleng kepala melihat sikap Ravin seperti bocah dan langsung menuruti Ravin memyalami Dea.

"Selamat datang tan. Maaf nggak bisa langsung jemput," ujar Samuel. Sedangkan Ravin berdecih cari perhatian memenang lalu menatap Samuel tajam.

Samuel membalas dengan tatapan tajamnya lalu tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di bahunya. "Udah lah jangan dihiraukan, namanya juga labil," cibir Candra sengaja mengejek Ravin.

Ravin pun tak menghiraukan lalu dia mendorong kursi roda Dea masuk ke dalam rumah.

"Maaf ya ma, mereka rada-rada sinting," ujar Ravin sengaja meledek mereka.

Yang lain memutar bola mata malas lagi-lagi dia memancing amarah mereka.

Dea merasa aura ruangan sedikit berubah langsung melerai mereka. "Udah-udah kenapa malah ribut, tante baru datang loh," ujar nya menatap mereka.

Ravin tersenyum canggung. "Maafin Ravin ma." Dengan senyum khasnya.

***

"Vin jangan ganggu mama,  biarin istirahat dulu," ujar Calvin kesal karena Ravin selalu mengajak Dea bercerita.

"Nggak apa-apa Vin kan ngomong sama calmer," ucap Dea dengan senyum keibuan.

Calvin berdecih dalam hati. Amit-amit dia punya adik ipar kayak Ravin bisa gila se isi rumah karenanya. Hanya membayangkan saja membuat dia bergigik ngeri.

"Jangan aneh-aneh bang mikirin gue," kekeh Ravin seperti cenayang.

"Udah-udah kalian dimana-mana selalu ribut, lebih baik bantuin teman-teman kalian di belakang," suruh Dea karena mereka buat acara bakar-bakaran di taman belakang rumahnya.

"Asiyap capten," ucap mereka serentak lalu keluar dari kamar Dea.

Viona yang hendak masuk kedalam kamar dihalang oleh Calvin yang tengah menyeret Ravin dari dalam.

"Kenapa?" tanya Viona kepada mereka.

"Nggak ada apa-apa, abang ke belakang dulu," ujar Calvin menyeret Ravin.

Sedang kan Ravin tersenyum manis ke arah Viona lalu mengomel-ngomel nggak jelas ke Calvin.

"Lo tega amat sih sama adik ipar sendiri."

Viona yang melihat pemandangan tersebut tersenyum tipis lalu masuk ke kamar sang mama.

"Alle sini duduk," suruh Dea kepada Viona menyuruh duduk disampingnya.

"Papa mana ma?" tanya nya karena tidak melihat sang papa setelah tiba tadi.

"Pergi ke supermaket beli kebutuhan untuk acara bakar-bakaran," jawab Dea mengelus rambut Viona dengan lembut.

Viona langsung memeluk Dea. "Ma Alle kangen, jangan pernah tinggalin aku  lagi," ujarnya.

"Mama juga sayang, mama nggak akan kemana-mana," ujarnya memeluk putrinya satu-satunya.

Bagas yang baru datang melihat pemandangan didepannya membuat hatinya menghangat. "Papa nggak dipeluk juga," ujar Bagas mendekat. Viona tersenyum sudah lengkap semua kebahagiannya. "Sini pa," kekeh Viona.

"Abang juga," papar Calvin dengan napas ngosngosan baru datang. Mereka semua terkekeh lalu berpelukan layaknya telatubis.

Nggak ada kebahagian terbesar selain berkumpul bersama keluarga. Terimakasih semua, batin Viona. Mengingat semua pengorbanan mereka semua.

***

   
                      

Hope [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang