Ludra menatap berkas yang tertumpuk tinggi di mejanya. Ia menghela nafas. Rasanya berkas di meja semakin hari semakin menumpuk.
"Ni berkas lama – lama bisa nyentuh langit kantor."
Ludra menggelengkan kepala, melepas jas dan meletakkan di kursi kerjanya. Ia berdiri menghadap jendela yang menyuguhkan gedung dan pemandangan kota Seoul. Terlihat N Seoul Tower beberapa kilometer dari pandangannya. Ludra tersenyum tipis. Pemandangan seperti ini cukup untuk menghibur dirinya.
Ludra menjadi penanggung jawab project baru Perusahaan Kenca. Yang membuat dirinya harus rela pulang pukul 2 dini hari dan melihat berkas laporannya semakin bertambah. Walau begitu, sebenarnya Ludra takut untuk mengurus project karena ini pertama kalinya mengurus hal seperti ini. Namun mau bagaimana lagi.
Salah satu keuntungan keluarga Kenca, mereka –terutama CEO resmi seperti Ludra- berkesempatan lebih besar untuk menjadi penanggung jawab seperti ini, karena penanggung jawab dipilih langsung oleh ayahnya, Tuan Hen. Namun menurut Ludra, ini sebuah hukuman berat baginya.
Karena jika terpilih, maka ia harus merelakan kasur di rumah dan menjadikan kursi kerja menjadi tempat tidurnya sekarang.
Daripada dipanggil pencundang, Ludra lebih baik dipanggil amatir. Karena lebih baik dia gagal daripada dia tidak mengambilnya karena takut. Setidaknya orang – orang tahu, Ludra pernah berjuang untuk menyelesaikan project.
Tapi... bagaimana jika orang lain ternyata memanggilnya dengan sebutan payah karena tidak becus melaksanakan tanggung jawabnya dengan benar?
Sial. Kepala Ludra jadi sakit. Padahal ini masih pukul 8 dan Ludra belum bekerja.
Ludra mengusak rambutnya. Pikiran ia jadi kemana – mana hanya karena project ini. Project ini sudah jadi milik Ludra, jadi mau tidak mau Ludra harus mengesampingkan berbagai macam pikiran buruk dan fokus kepada kerjaannya sekarang.
Saat dia sudah duduk di kursi dan siap bekerja, tiba – tiba handphonenya berbunyi. Layarnya menampilkan satu huruf yang Ludra langsung ketahui siapa ia.
Ludra mengangkat dan memencet logo microphone agar ia bisa bekerja sembari menjawab panggilan. "Paan?"
"Lu kagak ngampus Lud? Gue liat lu di jalan dah siap pake jas kantor soalnya."
Ludra menatap jam di mejanya, lalu menghela nafas. Sial. Bagaimana ia bisa lupa jika ada kelas jam 9 pagi ini?
"Gue otw."
"Buruan bro. Perjalanan dari kantor lu ke kampus lumayan jauh."
"Iya Nan. Kalo gue telat, ya kasih tahu aja gue baru balik dari kantor."
"Okey dah."
Ludra langsung membereskan semua yang baru ia tata tadi. Mengeluarkan baju yang lebih santai dan menggantinya di kamar mandi. Sialan. Satu kesalahan yang langsung menghentak keras kepala Ludra.
~.~.~.~.~.~.~.~.~
"Riska."
Riska langsung berbalik badan saat suara dingin memanggilnya. Pandu berdiri tidak jauh dari meja Riska, tepatnya di pintu kelas. "Iya Pan?"
"Ikut gue."
Riska memelaskan wajahnya. "Harus sekarang banget Pan?"
"Iya."
Rasa yang sedang menggenggam tangan Riska langsung menahan tangan Riska, membuat Riska terpaksa duduk kembali. "Wes Pandu teman baikku. Jangan ganggu waktu gue sama Riska. Gak lihat nih tangan lagi genggaman. Atau gue ikut aja seka-,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wealth
FanfictionKetika kau menjadikan kekayaan adalah segala dari segalanya, Apakah itu akan menjadi pesawat kertas yang terbang tanpa halangan, Atau menjadi boomerang yang berbalik kepada pemiliknya? Disinilah, kekayaan menjadi bagian hidup mereka. Ketika keluarga...