SEIZE

10 1 0
                                    

Sudah tiduran di kasur dan mendekam sejak pagi membuat badan Andra semakin baik. Walau pusingnya belum mereda, suhu badannya sudah kembali normal. Seketika Andra menyesali perbuatannya semalam. Yang seharusnya pagi ini ia bangun dengan menatap langit apartemen, malah disuguhkan pemandangan Denta dan Ludra yang berdiri disampingnya sambil melambaikan tangan di hadapannya. Jika mabuk bisa membuat Andra diwawancara dan dicurigai Ibunda, maka Andra ingin memutar waktu dan memilih pulang dalam kondisi sadar. Walau sudah tau badannya tidak kuat dengan alkohol, namun jiwa pembangkang Andra tetap ada disaat ia minum. Alhasil? Ia tumbang.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Turunnya Andra ke lantai bawah dengan perlahan bertepatan dengan suara deru mobil dari garasi. Yang Andra bisa tebak itu Denta dan Riska. Benar saja, pintu garasi terbuka dan menampakkan kedua anak yang sama – sama menutupi tubuhnya dengan jaket. Denta reflek meletakkan tas dan menghampiri saat melihat Andra sudah ada di lantai bawah. "Udah baikan lu?"

Andra mengangguk. Riska ikut membantu menuntun Andra ke sofa, sedangkan Denta pergi ke dapur untuk mengambil 3 gelas berisi air minum, lalu membawanya ke meja ruang keluarga. Andra sudah duduk di sofa sebelah Riska yang mengipasinya dengan tangan.

"Jangan dikipasin Ka."

"Kenapa kak? Kasian Kak Andra kepanasan. AC nya juga kenapa gak dinyalain ish."

"Ya kalau dia kena angin apalagi angin dingin, ntar nambah parah sakitnya. Dah ke kamar kamu aja kalo pengen ngadem."

"Tau aja Riska pengen ngadem." Riska menyengir dan pergi ke lantai atas. Meninggalkan Andra dan Denta yang saling diam. Bukan karena canggung, tapi karena Denta tau Andra yang sedang sakit lebih sensi dari biasanya. Begitu juga Andra, tenggorokannya masih sakit untuk berbicara terlalu banyak. Jadi ia memilih diam.

Setelah menegak habis air minum, Andra merasa tenggorokannya lebih baik. Ia melirik Denta yang sedang sibuk melihat buku dan handphone secara bergantian. "Ada tugas Den?"

"Disuruh bikin makalah." Denta menutup buku dan meletakkannya di meja. "Sans aja. Deadlinenya minggu depan lebih 2 hari."

"Sans sans tetep aja kepikiran kalo belum beres."

Denta hanya terkekeh. "Sembuhin diri dulu aja. Baru kerjain tugasnya."

Andra memutar malas bola matanya, mengganti posisi agar kakinya bisa lurus di atas sofa. Punggungnya ia senderkan ke bagian pinggir sofa, membuat posisinya membelakangi Denta. "Oh iya Den. Lusa Diana pulang."

"Terus urusannya sama gue?"

Andra mendengus kesal. Untung saja ia sedang membelakangi Denta. Kalau tidak, sudah dipastikan Denta mendapat tatapan pembunuh darinya. "Tanyain napa nyampe sini jam berapa."

"Buat?"

"Gue mau jemput dia ama Bang Hisa." Andra membenarkan posisinya yang sempat melorot. "Gue gak mau keduluan si bangsat Saka buat jemput mereka."

Nama Saka disebut membuat pikiran Denta bekerja. "Bentar. Gue kayanya inget sesuatu."

Perkataan itu membuat Andra membalikkan badannya, walau posisi kakinya masih lurus dengan nyaman. "Paan?"

"Gue lupa tepatnya kapan. Tapi seinget gue, Saka pernah ketemuan sama Bang Nanta. Bilangnya dia mau izin buat jemput mereka."

"Serius lu? Jadi Saka udah tau jam sampenya?"

Denta mengangkat bahunya ragu. "Mung...kin?"

"Bangsat sialan."

Untung rumah masih sepi. Kalo sudah ada Ayah dan Bunda, dipastikan mulut Andra akan menjadi hiasan rumah dan dipajang di atas perapian.

WealthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang