DOUZE

17 1 0
                                    

Pandu langsung menghela nafasnya saat mendengar bahwa rapat pertama diadakan besok. Rasanya baru beberapa hari ketenangan menyelimuti ia dan keluarganya. Namun besok, bendera perang mulai dikibarkan.

Siapa lagi selain Kenca yang selalu mengibarkan bendera duluan?

"Jadi... mulai besok kita adu emosi nih?"

Jendra tersenyum manis. "Kalo bisa gak pake emosi, kenapa harus marah saat ngerespon mereka?"

"Ha. Kayanya yang bisa nahan emosi cuma Kak Eve sama Mama doang. Papa juga pasti kelepasan, kan?"

Jendra sekali lagi tersenyum. "Iya deh... Papa emang gak pernah menang ngelawan Pandu."

Jendra berdiri, kedua tangan ia masukkan ke saku celana kantornya. "Kita belajar dari kesalahan kita. Kita dijadikan sebagai mitra kembali oleh Kenca, pasti bukan untuk sekedar bekerja sama. Mereka pasti punya maksud lain."

Tatapan Jendra mengarah ke Lean. "Dan Lean, papa harap kamu gak ngelakuin hal yang pernah kamu lakuin dulu. Membalas dendam sebuah kejahatan dengan melakukan kejahatan lagi itu tidak berguna. Kau sama saja dengan mereka."

Lean mengangguk pelan. "Lean gak akan lakuin lagi Pa."

Jendra mengangguk, percaya dengan perkataan putra sulungnya. "Papa gak mau mereka kembali menindas kita. Dan papa harap, kalo ada kelicikan yang mereka lakukan, jangan balas dengan kelicikan. Kita tunggu saja waktu yang-,"

"Papa sampai kapan cuma nunggu untuk membalas?"

Perkataan Jendra terpotong karena si bungsu membuka mulutnya. Saka yang sudah menahan pertanyaan itu di tenggorokannya, tertegun saat mendengar Pandu lebih dulu bersuara.

"Maksud Pandu?"

"Papa selalu bilang, "Tunggu waktu yang tepat," "Kita tungguin aja mereka mau apa." Sampai kapan Pa? Sampai mereka nyerang kita duluan? Papa gak capek, atau gak takut, kalo nanti lagi – lagi kita lagi yang kalah?"

Jendra hanya tersenyum mendengar perkataan Pandu. Kristal yang sedang duduk tenang langsung berdiri dan duduk disamping Pandu. Tangannya mengelus pelan bahu Pandu. "Eh... kok ngomongnya gitu?"

"Ya emang kenyataannya kok Ma."

"Perkataan Pandu ada benernya Pa." Pandu menatap Saka yang tiba – tiba bersuara. "Tapi omongan Papa juga ada benarnya."

"Maksud abang?"

"Kenapa gak kita satuin aja omongan Papa sama omongan Pandu?"

"Maksud?"

"Kita serang mereka secara perlahan, dan kita tunggu hasilnya akan kaya gimana."

Pandu tersenyum sinis. Ia melepas rangkulan Kristal dan berdiri tepat di depan Saka. "Terus maksud abang kita serang diem – diem dan perlahan, terus kita tungguin serangan kita akan berakhir dengan hasil apa? Kalo selama itu mereka nyerang kita, gimana?"

"Kamu lebih milih kita nyerang bertahap dan sembunyi tapi mereka gak tahu siapa yang ngancurin perusahaan mereka, atau memilih kita serang secara besar – besaran dan sekaligus, tapi setelahnya mereka serang balik karena mereka tau itu kita?"

Pandu terdiam. Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam. Saka hanya tersenyum tipis. Ia berdiri dan berjalan meninggalkan ruang tamu. "Ah iya. Dan... aku tahu ini agak.. jahat? Tapi salah satu dari mereka bisa kita manfaatkan. Bukan begitu?"

"Denta?"

Saka tersenyum. "Rekrut dia buat jadi mata – mata keluarga kita, gak salah kan? Lagian kamu juga pasti tahu kak. Apa yang Denta inginkan."

WealthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang