VINGT DEUX

20 1 0
                                    

Riska membulatkan matanya saat melihat angka yang tertulis di kertas berwarna biru itu. 20 triliun? Rasa bercanda memberikan uang bantuan sebanyak itu?

Sebenarnya itu tidak terlalu banyak, mengingat proyek teknologi ini cukup memakan banyak biaya. Tapi tetap saja. 20 triliun. Uang bantuan terbesar pertama yang Riska terima.

Riska jadi takut menyerahkan cek itu ke Hen.

Saat dirinya berjalan keluar dari lift dan menuju ruangan ayahnya, tiba – tiba tangan berbalut jas biru memegang pergelangan tangan Riska, membuat dirinya sedikit terkejut. Dia langsung memasang wajah kesal saat melihat kakaknya lah yang berhasil membuatnya terkejut. Si tersangka hanya terkekeh pelan, lalu melepas pegangannya.

"Kak Ludra nih. Emang hobinya ngagetin orang mulu."

"Hehe. Maaf maaf. Tumben banget kamu kesini. Ke lantai 11 lagi. Ada apa?"

Riska menggaruk tengkuknya yang mendadak terasa gatal. "Eung.... Aku ma-,"

"Mau ngobrol berdua dulu?"

Riska mengangguk. Mereka akhirnya turun ke lantai paling bawah, menuju kantin kantor yang tumben – tumbennya sepi. Padahal sekarang waktunya makan siang, tapi hanya terlihat 2 – 3 pegawai yang berseliweran di kantin. Ludra dan Riska memilih tempat duduk dekat jendela yang menghadapkan langsung ke teras kantor. Masih jam 1 siang, tapi kelabu sudah mewarnai langit.

"Jadi?"

Riska cemberut. Baru saja duduk, kakaknya ini sudah bertanya perihal sepele tapi buat Riska ini menyeramkan. "Kak, pesen minum dulu gitu. Biar santai ngobrolnya. Jangan langsung ngobrol, gak enak tau."

"Kakak tampol kamu kalau berani ngobrol santai." Ludra berdiri, meninggalkan Riska yang masih memasang wajah kesalnya. Selang beberapa menit, Ludra kembali dengan membawa 2 gelas plastik di tangannya. Satu berisi cairan coklat terang, satu lagi berisi cairan coklat gelap. Kedua gelas itu diletakkan di meja bundar putih dan Ludra duduk di seberang Riska.

"Udah nyonya."

Riska terkekeh, meminum minumannya setegak dan kembali bingung. Dia harus bilang apa ke Ludra?

"Kak."

"Hm?" Ludra berhenti minum dan meletakkan gelasnya. "Kenapa?"

Pertanyaan Ludra dijawab dengan kertas cek berwarna biru yang Riska pegang tadi. Stempel ungu dengan logo WM di kanan bawah, sudah langsung membuat Ludra tau kalau cek itu resmi dari kantor Wirahman.

"Rasa yang kasih?"

Riska mengangguk. Ludra terlihat bingung dengan jumlah 0 yang banyak di kertas. 20 triliun? Bahkan uang bantuan yang Ludra terima saja tidak pernah lebih dari 10 triliun. Ini, 20?

"Serius?"

"Aku juga bingung kak. Rasa tiba – tiba kasih itu tadi pagi. Bilangnya buat bantu dana projek."

Oke. Ludra menangkap sebuah keanehan.

Projek kantor Kenca memang terkadang diberi dana bantuan oleh perusahaan lain. Tapi jika mereka menggandeng mitra, atau istilah gampangnya bekerja sama dengan rekan mereka untuk membuat projek bersama, mereka sama sekali tidak pernah menerima dana bantuan. Karena projek milik pihak Kenca dan mitra yang diajak kerja sama, maka dana pun dari kedua pihak. Tidak pernah ada pihak ketiga di luar mereka yang memberikan dana bantuan. Karena... ya tidak ada untungnya untuk pihak ketiga ini bukan?

Melihat WIrahman melakukan ini, Ludra merasa bingung. Wirahman belum pernah menjadi partner projek, dan jarang –hampir tidak pernah memberi dana bantuan secara dadakan seperti ini. Dan tiba – tiba, Wirahman memberi dana bantuan, sebesar 20 triliun?

WealthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang