CHAPTER 49

136K 6.9K 386
                                    

WAJIB SPAM KOMEN DI SETIAP PARAGRAFNYA.

Perlahan Audrey mulai membuka mata dan beradaptasi dengan cahaya yang menyambut indra penglihatannya. Entah kenapa, saat ini tubuhnya seakan mati rasa. Dia lalu mengedarkan pandangan ke seisi ruangan bernuansa putih itu, lantas menyimpulkan bahwa saat ini dirinya berada di rumah sakit. Audrey ingat bahwa dia terkena tembakan di perutnya karena menyelamatkan Alvaro.

Audrey menatap Alvaro yang tertidur dengan menggenggam tangannya. Perlahan, gadis itu melepaskan genggaman Alvaro, lalu mengelus rambut suaminya itu pelan. Ia bersyukur karena Alvaro tidak terkena tembakan.

Merasakan elusan pada rambutnya, Alvaro langsung mendongakkan kepala. Senyum leganya terkembang saat mendapati Audrey yang telah siuman.

"Syukurlah, kamu udah sadar," ucap Alvaro dengan suara serak. "Kalo gitu aku panggilin dokter dulu," sambungnya kemudian.

Audrey hanya mengangguk pasrah, matanya mengikuti pergerakan Alvaro yang bangkit dan menekan tombol pada samping ranjang guna memanggil dokter. Beberapa menit berselang, seorang dokter dan suster masuk ke dalam ruangan dan mulai memeriksa keadaan Audrey.

"Keadaan pasien sudah mulai membaik. Jaga kesehatan dan pola makannya. Pasien belum bisa makan makanan yang berat karena luka tembakan itu. Dan saya sarankan untuk belum terlalu banyak bergerak," ucap dokter tersebut.

Tak lama setelah kepergian sang dokter, seorang suster datang membawa troli berisi makanan untuk Audrey. Seusai menyerahkannya pada Alvaro, suster itu lantas bergegas keluar.

"Nggak mau makan bubur," tolak Audrey saat melihat Alvaro mulai mengangkat mangkuk bubur tersebut.

"Makan," titah Alvaro.

"Nggak mau, Kak ... bubur itu nggak ada rasanya," rengek Audrey, seperti anak kecil.

"Makan." Alvaro mengulurkan sendok itu tepat di depan bibir Audrey, pertanda bahwa titahnya tidak bisa dibantah.

Audrey menghela napas pasrah. Mau tidak mau dia harus makan. Gadis itu mulai menerima suapan pertama. Rasanya benar-benar hambar, sehingga membuatnya ingin muntah, tapi Audrey tahan. Bagaimanapun Audrey perlu asupan makanan.

"Udah, Kak!" ucap Audrey seraya memalingkan wajahnya saat melihat suapan terakhir yang disodorkan Alvaro.

"Dikit lagi," balas Alvaro.
Audrey tetap menggelengkan kepalanya, tanda tidak mau. Alvaro pasrah, lalu melahap bubur yang tersisa dengan entengnya. Setelahnya, dia menaruh sendok dan mangkuk kotor di atas meja.

Pintu ruangan terbuka, memunculkan Amanda dan Wisnu yang tampak lega saat melihat putri mereka telah siuman.

"Alhamdulillah, kamu udah sadar, Nak." Amanda yang berjalan menghampiri Audrey, menatap haru putrinya itu.

Alvaro bangkit dan mempersilakan Amanda duduk. Sedangkan dia berjalan menghampiri Wisnu yang duduk di sofa. Ia memilih duduk di sebelah Wisnu dan membiarkan mertua dan istrinya mengobrol.

Wisnu menatap Alvaro. "Kamu nggak ke kantor?" tanyanya.

Alvaro menggelengkan kepala. "Semua kerjaan udah dihendel Rey, orang kepercayaan Alvaro."

"Sarapan dulu, Bunda bawain makanan buat kamu." Amanda menyodorkan sekantung plastik pada Alvaro. Laki-laki itu bangkit untuk menerima makanan yang diberikan sang mertua.

Setelahnya, Amanda menatap Audrey. "Audrey udah makan, kan?" tanyanya.

"Udah, kok, Bun." Audrey tersenyum seraya mengangguk.

"Gimana keadaan kamu, Sayang?" tanya Wisnu.

"Sudah lebih baik, kok, besok sudah diperbolehkan pulang," jawab Audrey senang.

Suara pintu yang terbuka, menginterupsi obrolan mereka. Dari balik pintu, muncullah para sahabat Audrey dan Alvaro, disusul orang tua Alvaro, dan terakhir Sean

"Audrey! Gue kangen banget!" pekik Felicia, langsung berjalan ke arah Audrey.

"Jangan berisik, Bego! Ini rumah sakit," bisik Vera seraya mencubit pinggang Felicia dengan gemas.

"Kak Surya, Vera-nya galak, nih!" Aduan Felicia membuat Vera memelotot tajam.

Mendengar hal itu, Nada melihat Surya dan Vera secara bergantian dengan tatapan bingung.

"Nak Vera pacaran sama Surya?" tanya Nada, penasaran.

Belum sempat Vera menjawab, Surya lebih dulu bersuara. "Iya," jawabnya.

Sejak kapan pacaran, dia nembak gue aja belum, batin Vera.

Saat Vera hendak kembali berucap, tatapan tajam Surya mengurungkan niatnya. Diam-diam gadis itu bergidik ngeri. Vera berpikir bahwa bukan manusia, melainkan monster ganas yang pernah menciumnya dulu.

Bima yang pertama kali menanggapi. Laki-laki itu bertepuk tangan. "Surya gercep banget, gila!"

"Diem-diem punya pacar, kagak ngasih tahu kita," sindir Raka seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dasar anak muda, pacaran mulu!" cibir Wisnu.

Amanda mencubit pinggang Wisnu. "Ngaca, dong! dulunya kamu juga gitu."

Sementara Bella yang berada di sebelah Vera langsung berbisik, "Sejak kapan lo pacaran sama Kak Surya?"

"Ngarang cerita itu orang, nembak gue aja belum," ungkap Vera, setengah berbisik.

Alvaro sedari tadi hanya diam, malas ikut mengobrol. Yang dia lakukan sekarang adalah duduk sambil menatap Audrey yang mengobrol dengan Bella. Entah apa yang mereka bicarakan, dia tidak mengerti. Walaupun sedang sakit, Audrey tetap cantik, sekalipun bibirnya sedikit pucat. Melihatnya tersenyum, membuat hati Alvaro sedikit menghangat.

"Hai, Bro! Diem aja lo kayak patung!" celetuk Sean, yang entah sejak kapan sudah duduk di sebelah Alvaro.

Alvaro hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus menatap Audrey. Entah kenapa dia masih merasa kesal saat Sean memeluk Audrey di rumah keluarga Vernanda dulu.

Tidak mendapat respons dari Alvaro, Sean mendengkus kasar. "Etdah ... bener-bener patung ini anak!"

Hari ini mereka menghabiskan waktu untuk mengobrol dan bersendau gurau. Audrey merasa senang karena banyak orang yang peduli terhadap dirinya. Dia bersyukur mempunyai teman yang setia seperti Felicia, Vera, dan Bella.

***

TBC

jangan lupa untuk vote dan komen. follow juga Instagram @aniintnputri_ dan @wattpadaniintnptr_

MY POSSESSIVE HUSBAND [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang