7. Uwuphobia Hara

53 21 32
                                    

🌇

Aku yang ingin menutup mata mendadak ingat WhatsApp darinya. Kenapa Ananta meminta alamat rumah Hara ya? Apa dia ingin ke sini? Tapi ini sudah malam, jarum jam sudah menunjukkan angka delapan.

Dari notifikasi sepertinya ada WhatsApp yang masuk. Semoga dari Ananta.

Mommy
Sayang. Mommy sama dad belum bisa pulang. Kalo kamu besok pulang ke rumah, bilang sama bi Darmi ya.

Aruna Utari
Tapi, Mom. Surat makrab Aruna gimana? Siapa yang tanda tanganin?

Minta mamanya Hara untuk menandatanganinya ya. Dah, girl. Cepet tidur udah malem. Online terus emangnya ada yang ngechat?

MOMMYYY! ARUNA GA SE NGENES ITU YAA:((

Ehe, maapin mom. Night girl🤗 have a nice dream ya

You too:)

Ananta, Ananta. Kenapa aku berharap notifikasi WhatsApp selalu darimu? Padahal banyak orang yang ada di dalam kontakku. Namamu, selalu merancu dalam otakku.

Notifikasi lagi. Mana mungkin dari Ananta. Berhalu saja Aruna, sampai nama Hara berubah menjadi Hari.

Ananta Dewa
Keluar, Aruna. Di sini dingin. Keluar sendiri berani kan?

Aruna Utari
Gak mau ah. Nanti kamu cuma prank aku.

Kamu beneran enggak mau martabak ini? Aku udah beliin martabak telur sama martabak manis loh.

Aku seketika berlari untuk mengintip Ananta dari balik gorden Hara. Benar saja, dia ada di luar gerbang dengan hanya menggunakan kaos putih. Hanya kaos putih. Seberapa kuat daya tahan tubuhnya ya?

Mereka bertiga yang ada di ruang tamu kaget saat aku berlari keluar. Jangan-jangan mereka berpikiran jika aku ini sedang ngelindur. Sampai-sampai Priya ikut berlari mengejarku. Iya, aku memang sadar jika Priya sedang mengejarku.

Aku membuka gerbang Hara yang sedikit berkarat, saat aku mengesernya terdengar bunyi decitan.

"Ananta ...."

"Ini Aruna." Aku menerima kantong plastik yang diulurkan olehnya.

"Ananta, ini dingin. Kenapa kamu enggak pake jaket? Mau aku ambilin jaket di kamar Hara?" tawarku untuk mengobati sedikit sungkan karena telah merepotkannya.

Tidak. Ananta merepotkan dirinya sendiri.

Ananta menggeleng, menggosok lengannya pelan. "Kamu enggak mau peluk aku?"

Ha? Apa? Ananta minta dipeluk? Dipeluk sama aku? Otakku seketika konslet.

"Eh."

"Bercanda Aruna. Kamu seriusin juga gak papa."

Aku menghembuskan napas pelan. Lima detik aja Aruna, gak papa. Ini cuma pelukan singkat.

"Lima detik aja ya."

"Oke."

Tiba-tiba Ananta membawaku dalam dekapannya. Rasanya damai, tapi juga membuat sensasi yang tidak bisa aku jabarkan.

"Satu ...." Ananta memulai hitungannya.

"Dua ...."

"Tiga ...."

"Empat ...."

"Lima ...."

Ananta menepati ucapannya. Dia melepaskanku saat hitungan ke lima. Sudah pasti wajahku memerah karenanya. Ini hanya pelukan lima detik, tapi kenapa membuat hatiku buncah.

"Terima kasih Ananta."

"Terima kasih kembali Aruna. Cepat masuk, ini dingin. Tidak baik untuk kesehatanmu."

Ananta. Seharusnya kamu mengkhawatirkan keadaanmu sendiri.

🌆

"Cie. Pelukan lima detik, cie," ejek Priya dari balik pintu.

Aku tersenyum kikuk saat mendapat ejekan seperti itu dari Priya. Ya, mau bagaimana lagi.

"Pas kamu lari tadi. Kita kira kamu ngelindur loh Run, makanya Priya ikutin kamu lari juga. Eh ternyata, malah ada adegan pelukan lima detik." Hara menepuk punggung kak Rania pelan. "Kak Ran, kalo pelukan sama Nakula lima detik juga?"

"Jomblo mah kepo."

Priya dengan tidak tahu dirinya merampas tas plastik yang tergenggam di tanganku. Sedangkan Hara sibuk menyumpah serapahi kak Rania karena ucapannya.

"Enak banget sih di bawain dua martabak sekaligus. Perut Runa emang cukup?" tanya Hara dengan air liurnya yang menetes.

"Cukup aja. Kan ini martabak cinta dari Ananta."

"Sumpah. Baru aja kemarin Hara sama Runa jadi tim anti bucin. Sekarang virus PriRan sudah menyebar, virus bucin. Hara jadi sendirian kan sekarang aaaa."

Saat mulut Hara terbuka lebar. Priya memasukan potongan dari martabak manis kedalam mulutnya. "Makan tuh martabak manis. Biar hidup kamu makin manis. Enggak asam kaya keteknya kak Rania." Priya sedikit melirik ke kak Rania.

Kak Rania yang mendengarnya berlagak santuy. "Hebat banget Priya bisa rasain keteknya Rania. Ya gitu fans, rasa ketek aja sampai tahu."

"BODO AMAT GAK DENGER!" teriak Priya. Sepertinya dia salah berbicara kali ini. Ketek oh ketek maafkan Priya yang sudah mengejek rasamu yang asam.

Priya membawa sekotak martabak manis tadi menuju kamar Hara. Menghindari kami bertiga.

"PRIYAA! MARTABAKNYA ARUNA KENAPA DIBAWA JUGA!" Aku berteriak agar suaraku sampai ke kamar Hara.

"BODO AMAT ARUNA! PRIYA GAK DENGER!"

"PRIYA MAH GAK JELAS!" Hara juga ikut meneriaki Priya. Kak Rania, dia tetap santai menikmati martabak telor yang baru saja dibuka.

Tante Ami muncul dari balik pintu. Membuat teriakanku dan Hara berhenti. "Ini kenapa ribut-ribut sih. Udah malem loh."

"Priya tuh tante." Aku mengadu duluan kepada dia.

"Priya kenapa?"

"Martabaknya Aruna di bawa tante sama dia, di bawa ke kamarnya Hara." Tante Ami menganggukkan kepalanya saat mendengar penjelasan dari kak Rania.

"Kalian beli martabak di mana?"

"Aruna dibawain sama Ananta, Ma. Semuanya jadi bucin sekarang, Hara aja yang enggak."

Tante Ami duduk di antara kak Rania dan Hara. "Mereka enggak bucin kok. Kamu aja dek yang jones, jomblo ngenes."

"MAMAAA! KOK NGATAIN HARA SIH!"

Kami tertawa mendengar kericuhan Hara dan Mamanya.

"Hayo, kamu iri kan sama mereka? Makanya ngejek mereka bucin. Bener kan dek?"

"ENGGAK MAA! HARA ENGGAK IRI, CUMA NYESEK AJA."

Aku menyenggol lengan Hara pelan. "Kenapa nyesek?"

"Kenapa semua orang bisa merasakan keuwuan sedangkan Hara enggak?"

"KARENA HARA ITU UWUPHOBIA. EHE." Malam ini aku sudah cukup mengejek Hara.

"Tan, mama tadi bilang kalo Tante Ami yang tanda tanganin surat izin makrabnya Aruna."

"Tante tau kok. Tadi mama kamu udah telfon Aruna."

Syukurlah. Ternyata mama sedikit mempermudah.

"Suratnya mana?"

Hara berdiri. Berniat untuk mengambil suratnya juga suratku sekalian.

"Ini Ma." Hara memberikan dua lembar selebaran milik kami. Tante Ami langsung menandatanganinya dan menyuruh kami untuk tidur.

Ananta terima kasih untuk martabak telor dan martabak manisnya. Aruna suka. Juga untuk pelukan lima detiknya. Aruna sangat menyukainya.

🌇

ANANTAAA, BAWAIN RIDA MARTABAK JUGAAA:((

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang