34. Aku Melihatnya

20 7 0
                                    

Tidak pernah mudah memahami diri sendiri.

🌆

"Run, nanti aku jemput jam empat ya?"

Chandra. Dia menganggu imajinasiku yang sedang berkelana. Menyebalkan.

"Harus hari ini juga ya, Chan?"

Sudah hari ke lima sejak datangnya tugas itu, tapi malas sudah mengganggu bahkan sejak Wulan menggumumkan Ananta tak sekelompok denganku.

"Woh, iya dong. Harus hari ini."

"Tapi, Aruna ... Ah, ya udah deh." Aku urung mengungkapkan rasa lelah yang kini menghantam. Segera memasukkan buku ke dalam tas. Di daun pintu ada Priya dan Hara yang sudah menungguku.

"Oke, Run. Hati-hati ya."

Aku mengangguk. Seharusnya Ananta yang mengucapkan kalimat itu. Tapi, nyatanya ... Dia tertidur pulas sejak beberapa menit yang lalu.

"Chan, jangan lupa bangunin Nanta ya. Aruna pulang dulu."

Dia mengacungkan jempolnya. Aku menghampiri mereka dengan langka gontai. Semua hal menjadi berbeda, rasa sakit yang tak seharusnya ada malah menjadi raja. Apa aku kalah?

Tidak! Ada Ananta, juga mereka yang selalu ada dalam setiap rasa. Ini hanya rasa sakit kecil yang akan terlewati nantinya.

"Apa kamu baik-baik saja, Run?"

Sudah hampir sampai di tempat parkir. Suara Priya membuat kepalaku yang awalnya tertunduk menjadi menegadah.

"Sepertinya, tidak."

Sepertinya, hanya sepertinya. Masalah benar atau tidaknya aku pribadi tidak tahu.

Aku masuk ke dalam mobil Hara, kali ini bukan Priya yang mengendarai, tapi si pemilik mobil itu sendiri. Priya tidak duduk di depan, tapi di sebelahku. Untuk alasannya, aku tidak tahu.

"Tidak pernah mudah memahami diri sendiri." Priya menurunkan setengah kaca mobil. Membuat semilir angin masuk, menghembuskan separuh keraguanku.

Aku memutuskan mengakhiri ragu ini. Ragu yang entah dari mana datangnya, ragu yang membuat semua ini semakin tidak jelas.

Notifikasi khusus lagi-lagi membuatku kelabakan. Untungnya, ini memang benar dari Ananta.

Ananta Dewa
Hei, kenapa kamu gak bangunin aku tadi? Seharusnya kamu pulang bersamaku, Na.

Aruna Utari
Ah, gak enak kalau ganggu kamu tidur.

Centang satu. Aneh. Tidak biasanya Ananta mematikan data selulernya. Apa ada sesuatu yang terjadi? Aku harap tidak.

Jalanan saling berebut pengguna. Memprioritaskan mereka yang lebih mewah, meninggalkan yang terbelakang. Absurd sekali memang ....

🌆

"Jadi, membuang sampah pada tempatnya adalah alternatif yang paling penting ya, Bu?"

Seorang paruh baya itu mengangguk, aku menuliskan beberapa kalimat dalam buku catatan berwarna cream. Chandra merekam percakapan kami, untuk berjaga-jaga.

"Terima kasih untuk waktunya, Bu. Saya dan teman saya pamit undur diri dulu."

"Sama-sama, Nak."

Aku tersenyum, begitupun dengan Chandra.

Hampir jam setengah enam, cuaca mendadak mendung. Untungnya Chandra membawa mobil kali ini, jadi setidaknya kami tidak akan kehujanan.

"Gerimis, Run," ucapnya saat sudah di dalam mobil.

Aku menghela napas lega. "Untungnya kita udah selesai."

Mobil Chandra meninggalkan kawasan itu. Tidak ada apapun yang terjadi, syukurlah.

"Aku mau tanya satu hal, boleh?"

"Boleh lah, Chan. Tanya apa?"

Chandra tidak menggubrisku, dia menghidupkan windscreen wiper. Tidak lagi gerimis, hujan sudah menggantikannya.

"Misalkan Ananta hanya bercanda soal kalian, gimana Run?"

Deg. Aku terkejut, jelas. Pasalnya pertanyaan ini berasal dari orang terdekat Ananta sendiri. Apa ... Ananta memang bermain-main selama ini?

Chandra menggeleng dan melanjutkan perkataannya, "Aku tidak ingin membuat kalian berantakan, itu hanya sekedar pemisalan dalam pertanyaan. Kalau mau dijawab ya gak papa, kalau enggak juga gak papa."

Hujan membuat semuanya berbeda, membuatku menjadi lebih perasa. Sepertinya begitu.

"Hmm ... Ya, gimana lagi Chan. Aruna harus menerima konsekuensi dari ketulusan itu sendiri."

Aku memutarbalikkan jawaban yang bahkan jauh dari pengucapanku itu. Jawabannya hanya beberapa kata, tentu saja aku terluka.

Itu sudah cukup menggambarkan semuanya bukan? Tapi, ini hanya pemisalan. Tidak akan terjadi apapun, tenang.

Chandra memarkirkan mobilnya di depan kafe klasik yang sudah pernah kukunjungi bersama Priya. Aku suka matcha latte-nya, rasanya benar-benar pas.

Dia turun duluan dengan payung yang membuka lebar, langsung memutar menuju posisiku. Chandra ... Mengingatkanku tentang Ananta waktu itu, tapi sungguh tidak ada rasanya jika Chandra yang melakukan hal tersebut.

"Kamu cari meja di lantai atas dulu ya, aku yang pesan. Matcha latte, kan?"

Aku mengangguk, Chandra sepertinya cocok jadi cenayang. Dia menebak dengan sangat tepat.

Lantai satu cenderung dengan ornamen yang klasik namun mewah, sedangkan lantai dua klasik kuno, jadi cocok untuk orang yang instagramable.

Deg. Aku melihatnya bersama seorang wanita yang bahkan dari bajunya aku bisa menebak itu siapa.

"Ananta ... Hara ...."

Ananta yang melihatku segera melepaskan genggaman tangannya, mengikis jarak yang sebenarnya tidak berguna. Ada apa dengan mereka?

🌆

Tidak ingin meninggalkan jejak?

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang