🌆
Saat aku membuka mata kembali. Aku sudah ada di dalam ruangan yang nampaknya tidak asing. Ini adalah kamar kami.
"Kak Arjuna ...."
Hara membantuku duduk. "Kak Arjuna keluar. Aruna sama Hara di sini."
Dia mengambilkan minuman untukku. Teh hangat. "Tadi hampir aja kita ketahuan sama Ananta. Tapi Hara berhasil mengalihkan perhatiannya. Kalo dia sampai tahu pasti kak Arjuna bakalan habis deh. Hara enggak paham lagi deh sama Ananta."
Tapi ini bukan salah kak Arjuna ... Ini sepenuhnya salahku, Hara ... Aku terlalu perasa. Kak Guntur? Sekarang dia di mana?
"Makasih Hara."
"Kamu mau menikmati api unggun di luar atau tidur saja Run? Takutnya kalau kamu enggak muncul Ananta bakal curiga."
Benar juga. Untung tadi Hara bisa mengalihkan perhatian Ananta. Tapi sampai kapan Hara harus mengalihkan perhatian Ananta untuk melindungiku? Selalu saja Aruna menyusahkan orang lain.
Tok ... Tok ... Tok ...
Hara berdiri dan membuka pintu kamar. Ananta menyelonong masuk melewati Hara. Dia langsung menempelkan punggung tangannya di dahiku.
"Aish, kok bisa hangat gini."
Aku tertawa kecil. "Aruna kan emang masih hidup. Makanya hangat. Coba aja—"
Ananta membungkamku. "Jangan dilanjutkan, Na. Aku enggak suka kamu ngomong yang aneh-aneh ya!"
"Maaf."
Dia melepaskan tangannya. "Ayo ikut ke api unggun. Kamu mau melewatkan momen spesial ini?"
Aku menyibak selimut yang sedari tadi menutupiku. Apa Hara yang menggantikan bajuku tadi?
Ananta melepaskan baju hangatnya. "Ini dipakai ya, Na. Aku gak mau kamu sampai sakit. Tadi kamu kemana?"
Hara menyilangkan tangannya. Mulutnya entah mengucapkan apa. Tapi aku tahu jika waktunya untuk sedikit berbohong. "Keliling villa aja kok. Enggak kemana-mana."
Mendengar jawabanku. Hara memberikan jempolnya. Ananta membantuku berdiri. "Hati-hati Aruna. Kamu mau aku gendong saja?"
"Modus teross. Emang ya buaya pasti gitu." Hara meninggalkan kami berdua.
"Woy! Jones diam aja deh!" teriak Ananta. Aku tertawa kecil.
"Tidak usah Ananta. Aku masih bisa berjalan kok."
Dia menggandeng tanganku menuju tempat api unggun. Saat melewati Hara, Ananta menjulurkan lidahnya. "Kasihan. Jomblo. Bisanya iri doang."
Hara melepaskan sendalnya. Sepertinya dia akan melempar Ananta menggunakan sendal tersebut. Tepat sekali, Ananta mengaduh setelah ada bunyi bug. Sepertinya terkena punggungnya.
"Hara biadab!"
Mereka menertawakan Ananta. Dia memilih mengajakku berdiri menikmati api unggun di dekat kakak osis. Mungkin dia menghindari serangan Hara. Aku tidak tahu.
Tanganku tidak sengaja bersentuhan dengan tangan seseorang. Kak Arjuna. Ya ampun ujian apa lagi ini. Di sebelah kanan ada Ananta. Di sebelah kiri ada kak Arjuna.
Chandra berlari membelah kerumunan dengan membawa gitar. Sejak kapan dia membawa gitar tersebut? Sepertinya tidak ada gitar di bis tadi.
Dia memberikan gitar tersebut pada Ananta. Ananta melepaskan genggaman tangannya di tanganku. "Aku mau main gitar. Kamu yang nyanyi ya, Na."
KAMU SEDANG MEMBACA
Manuskrip Jeda [Selesai]
Fiksi Remaja"Kamu tahu alasan kenapa malam ada setelah senja?" Pertanyaan tiba-tiba dari Ananta itu membuatku menoleh. "Karena malam gelap, Ta. Sedangkan senja adalah akhir dari matahari yang akan kembali ke peraduannya. Jadi bener dong kalo senja dulu baru mal...