2. Bukan Pura-Pura

175 37 53
                                    

Halu boleh, asal jangan ketinggian.

🌆

"Kak Ran. Lihat deh pangeran Aruna. Ganteng banget kan, ya? Nanti Aruna mau pura-pura pingsan deh biar digendong sama dia."

Priya yang mendengar ucapanku malah melempar botol air mineral dengan tidak tahu diri. "Aruna, kalau halu jangan ketinggian. Tahu bintang jatuh? Bintang, jatuh karena banyak harapannya yang terlalu tinggi dan tidak bisa digapai. Karena harapan-harapan yang terlalu banyak maka wush, bintang gak kuat dan jatuh. Dan Aruna tahu gimana rasanya jatuh? "

"Sakit," jawabku seadanya. Kenyataanya benar kan? Jatuh memang menyakitkan. Tapi kata Ananta, jatuh cinta membuatmu melayang. Melayang bukannya seperti terbang dengan sayap tapi tidak bergerak? Jadi kita tidak perlu takut jatuh, kan? Masih ada sayap yang akan membuat kita tetap aman.

"Nah itu jawabannya. Halu boleh, asal jangan ketinggian Aruna."

Kak Rania memegang bahuku. "Yang dikatakan oleh Priya memang benar Aruna. Halu secukupnya aja ya? Tapi untuk bintang jatuh itu kurang benar. Iyakan, Hara?"

Hara mengangguk. "Bintang, jatuh bukan karena kelebihan harapan Aruna. Tapi berawal dari meteor luar angkasa yang tertarik oleh gravitasi Bumi, ketika memasuki atmosfer bumi terjadi gesekan udara di lapisan ionosfer dan menyebabkan meteor panas, lalu terbakar, hal itu menimbulkan cahaya terang."

"Tepat sekali Hara. Sekarang kita baris dulu, ya."

Kakak osis mulai mengatur barisan untuk kelasnya masing-masing. "Yang merasa tingginya belum ke atas. Diharap baris di depan agar tidak tenggelam. Silahkan yang merasa segera maju ke depan."

Ada ada saja mereka ini. Kenapa harus membedakan orang yang tinggi dengan yang pendek? Bukankah kita ini sama rata tanpa ada perbedaan.

"Kamu. Aruna. Silahkan maju. Tinggi kamu belum maksimal, kalo di belakang terus nanti enggak kelihatan."

Kakak osis itu menyuruhku ya? Kenapa dia sotoy sekali dengan tinggiku yang memang hanya segini. Memangnya aku ini bahan uji cobanya apa.

"Enggak mau."

"Kamu ngelawan saya?"

"Kata siapa? Aruna enggak ngajak kakak baku hantam tuh. Jangan kepedean."

Teman seangkatanku menertawakan kakak osis yang wajahnya mulai memerah. Bahkan, Aruna lihat kakak osis juga banyak yang ingin tertawa. Tapi tak jadi karena menghormati rekannya tersebut.

"Sudah, Bim. Biarkan dia tetap di sana."

"Tapi Jun. Ini sama aja kaya melanggar peraturan."

Melanggar peraturan dari mananya? Bahkan di paskibra, yang paling tinggi itu yang di depan, setahunya begitu. Bukan seperti perkataan kakak kelas yang sok tau ini.

"Sejak kapan ada aturan gitu kak? Aruna enggak pernah baca tuh."

Maaf. Bukannya Aruna tidak sopan dengan kakak kelas. Dia hanya ingin meluruskan pengetahuan bengkok kakak osisnya ini.

"Kamu. Silahkan keluar dari barisan dan lari keliling lapangan sebanyak dua belas kali! Tidak ada bantahan."

"Cukup Bim. Udah."

Kakak dengan panggilan Bim itu tidak mendengarkan temannya. "Segera!" bentaknya.

Aku cukup kaget. Salahku dimana? Toh aku cuma enggak mau berbaris sesuai tinggi aja. Menyanggah beberapa pertanyaannya, apa itu kesalahan yang fatal?

"Kamu enggak ngerti bahasa manusia ya?" Dia beringsut maju mendekatiku. Tanpa aba tangannya mencekal erat pergelangan tanganku. Rasanya sakit. Dia siapa sampai berani memperlakukanku seperti ini? Orang tuaku saja tidak pernah kasar sedikitpun.

"Apa sih kak! Iya, udah. Lepasin tangan aku. Aku bakal lari keliling lapangan sesuai perintah kakak. Puas!"

Aku menghempaskan tangannya kasar. Bodo amat dengan posisinya yang lebih tinggi atau usianya yang lebih tua.

"Aruna. Jangan dilakuin." Hara memegang salah satu tanganku.

"Udah Hara. Enggak papa. Biar dia paham, kalo aku itu sebenarnya ngerti bahasa manusia." Aku menatap tajam Bim. Jangan harap aku akan memanggilnya dengan embel-embel kak. Sampai kapanpun enggak akan pernah!

Aku segera keluar dari barisan. Mulai berlari mengelilingi lapangan yang luasnya keterlaluan. Kakak osis yang lain segera menyuruh mereka mengatur posisi untuk PBB.

"Awas aja Bim. Aruna bakal bikin pembalasan untuk ini semua." Aku sesekali ngedumel. Bayangin aja, ditengah-tengah terik begini harus berlari dua belas kali. Gila kali ya si Bim itu. Memberikan perintah tanpa melihat situasi dan kondisi.

Ayo, tinggal enam putaran lagi. Aruna pasti bisa.

Entah kenapa tiba-tiba mataku memburam, kepalaku mulai pusing, dan kakiku melemas. Perlahan pandanganku mulai kabur dan semuanya mendadak hitam.

Samar-samar telingaku masih bisa mendengar. Terlalu riuh sebenarnya, tapi ada beberapa kata yang masih bisa terdengar jelas sebelum aku kehilangan kesadaran sepenuhnya.

"Kalian ini gimana! Kelamaan kalo nunggu tandu! Udah biar aku aja yang bawa dia ke UKS! Minggir!" teriakan dia mengalahkan kicauan lainnya. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Aku juga tidak tahu dia itu siapa. Mungkin nanti waktu yang akan menjawabnya.

🌆

Gimana gimana?

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang