19. Kak Altas Yang Malu

17 10 10
                                    

🌆

Mata bolpoin ternyata berhenti di ... Kak Rania. Huft, aku merasa sedikit lega. Jadi perasaan tak enakku tidak terealisasikan.

"Heum ... Kamu mau truth or dare, Ran?"

Sepertinya kak Altas masih gagal move on. Terlihat dari tatapan matanya yang penuh harap. Salah sendiri punya wajah yang over cogan, jadi gak tenang kan kalo punya pacar. Pasti ada aja haters yang menerror kalo ada seseorang yang dekat dengannya.

"Dare."

Jangan kaget jika mereka sepemikiran. Inilah yang harus disayangkan dalam kandasnya hubungan mereka. Kecocokan, juga keselarasan.

Kak Altas memberikan kertas yang sudah dia isi. Aku menggumamkan dare darinya.

1. Masak nasi goreng dan suapi saya seperti awal kita jadian. (Altas)

Aku melengkungkan bibir. Memang benar, kak Altas gagal move on. Seandainya tidak ada haters, pasti mereka tidak akan putus. Jika haters hanya menyerang lewat sosial media atau terror-terror remeh pasti mereka bisa melaluinya. Tapi ini sudah keterlaluan, kak Rania pernah hampir jatuh di kamar mandi sekolah bahkan di dalam lokernya juga ada ulat gatal yang untungnya tidak mengenainya waktu itu.

Setelah mereka memutuskan untuk berpisah. Tidak ada satupun terror yang muncul. Ya sudahlah, ini jalan satu-satunya. Mau bagaimana lagi.

2. Ngomong sayang ke kak Altas. (Aruna)

Setelah semua selesai menuliskan darenya. Kami memutuskan untuk menggunakan dare dari kak Altas. Kak Rania pergi meninggalkan kami dan menuju dapur.

Priya mengambil bolpoin dan memutarnya. Mata bolpoin berhenti tepat di aku. Ini memang waktunya.

"Aruna. Truth or dare."

Coba tebak aku bakal pilih apa? Aku bukanlah orang yang suka tantangan, jadi aku memilih truth.

"Truth," putusku yang membuat senyum puas muncul di wajah Priya. Dia menuliskan beberapa kalimat dan kertas bergilir sampai di Priya lagi. Sekilas aku membaca satu pertanyaan.

2. Jujur, Aruna marah sama Hara karena Hara bertengkar sama Ananta? (Hara)

Deg. Lampu ruang tengah sepertinya berpendar mengejek pertanyaan itu. Aku menelan saliva.

"Oke. Aruna, jujur ya. Aruna marah sama Hara karena Hara bertengkar sama Ananta kan?" tanya Priya padaku. Seketika semesta membatu. Siaran televisi seolah tak bernyawa karena itu.

Aku menarik napas panjang dan mengangguk. "Iya, Aruna cemburu."

Ekspresi Hara berubah menjadi sendu. Maaf, Hara. Tapi Aruna enggak bisa membohongi perasaan sendiri. Aruna memang cemburu sama Hara.

"Maaf, Run." Hara menggigit bibir bawahnya. Satu cairan bening berhasil lolos dari matanya.

"Aruna enggak bisa marah sama Hara. Aruna cuma ngerasa gimana gitu. Apalagi soal Hara yang nganterin Ananta pulang."

Hara membeku. Dia menatap Priya dengan selidik. Priya sendiri hanya mengendikkan bahu dan berkata, "Maaf. Tapi Priya enggak mau ada rahasia yang bikin salah satu dari kita sakit. Lebih baik jujur dan semuanya akan baik-baik saja."

Aku tidak baik-baik saja Priya. Tapi kejujuran ini sejenak melegakan.

"Maaf Run. Hara enggak maksud buat kamu cemburu. Hara enggak suka aja sama Ananta. Dia itu mirip ... Mirip buaya. Maaf."

Buaya? Dari mananya? Dia bahkan hanya perduli denganku. Dia tidak pernah menggoda orang lain selain aku. Benarkan?

"Hara enggak mau Runa sakit gara-gara Ananta. Semua ini terlalu cepat. Tidak ada seseorang yang baru mengenal dan langsung jatuh cinta, menggoda seperti itu."

Langsung jatuh cinta. Aruna percaya ada cinta pandangan pertama. Aruna dan Ananta itu jatuh cinta pada pandangan pertama. Kenapa Hara harus mengingkarinya?

"Runa, maaf. Hara janji enggak akan bertengkar lagi sama Ananta."

"Oh. Gak papa kok." Aku mengalihkan pandangan. Berusaha menahan air mata yang ingin turun. Kenapa semua ini malah menyiksanya?

"Hara tahu. Enggak mudah memaafkan Hara untuk Runa. Tapi, Hara enggak mau Runa tersakiti dan salah paham."

Aku berdiri dan mengampiri Hara. "Maaf." Aku memeluknya erat. Aku sayang kalian meski terkadang menjengkelkan. Semua hal yang kalian lakukan pasti untuk membuatku bahagia, bukan terluka.

🌆

Kak Rania memanggil kami semua ke ruang makan. Kak Altas tersenyum senang. Priya menyenggol aku dan Hara yang sudah berbaikan.

"Hngg ... Kamu beneran mau suapin aku?" tanya kak Altas malu-malu.

"Iya. Kamu enggak mau?" Kak Rania menunjuk seporsi nasi goreng yang terlihat beda dari dua lainnya.

"Mau lah!"

Kak Rania tertawa kecil. "Ya udah hehe. Hara sama Runa barengan ya, Priya sendirian. Gimana?"

Mata Priya berbinar. "Dua juga gak papa kok. Apalagi ini nasgor buatan Kak Rania."

Selain pandai di pelajaran eksakta. Kak Rania juga pandai memasak. Kelemahannya hanya satu, bidang olahraga seperti Hara dan Priya. Aku sendiri, aku tidak terlalu ahli di semua bidang. Tapi rata-rata bisa. Kecuali bahasa inggris. Otakku menangis saat sekilas membacanya.

"Buka mulutnya. Aaaaa."

Kak Altas membuka mulut. Perlahan pipinya memerah, membuatku teringat Ananta. Sudah makan malamkah dia?

"Penting buat aku memastikan kamu untuk baik-baik saja Runa. Karena kamu adalah adik kecil kami semua."

Ucapan Hara membuatku tersadar. Ah, banyak hal yang membuat kita jadi salah paham. Tapi juga banyak hal yang membuat kami menyatu kembali.

Selesai makan lampu ruang makan mendadak padam. Seperti biasanya, Priya yang paling waspada.

"Ssstt ... Dengerin baik-baik."

Semoga ini tidak seperti saat di Puncak kemarin dulu. Priya yang tiba-tiba kentut dan membuat kami jengkel setengah pingsan. Kira-kira kali ini apa ya?

🌆

GOODNITEEE

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang