Untuk Ananta[3]

16 6 0
                                    

Haii Ta.

Enggak kerasa ya, udah satu bulan aku kenal kamu. Makin ke sini perasaanku semakin besar saja. Tapi, tanpa aku beri tahu sepertinya seantero sekolah juga mengerti.

Tenang saja, kali ini bahasanku bukan tentang kamu dan Hara lagi. Pengharapanku ditulisan sebelumnya tentang bahagia telah tercapai. Terima kasih, Ta.

Semoga bahagia itu memang selamanya.

Sudah tiga kali ya kamu ajak aku ke bukit. Aku senang sekali, Ta. Apalagi saat kamu juga membawa gitar dan menggenjrengnya disamping kiriku. Menyanyi lagu-lagu lawas yang memang masih cocok di telinga kita.

Jika orang lain berlomba-lomba menyanyikan lagu baru dengan kerasnya. Kita cukup melirih dan menghayati semua makna lagu lama. Simpel banget ya.

Kamu adalah pemain gitar yang handal, Ta. Aku mengakuinya. Permainanmu tidak pernah buruk, bahkan kamu seperti orang yang sudah lama bergelut dalam dunia musik. Bagaimana lihainya tanganmu menggenjreng tiap senar, juga berganti kunci  dengan mahirnya.

Senja kemarin. Aku bersyukur bisa melihatnya bersamamu. Dari sana aku bisa menemukan sudut pandang baru. Sudut pandang yang hanya bisa ditembus olehmu.

Aku mulai memahami makna lain dari senja. Senja yang disukai banyak orang, senja yang membuat orang-orang menjadi puitis dalam setiap tulisannya. Senja yang membuatku terperangkap dalam pesonanya, seperti aku telah jatuh dan terkunci dalam pesonamu juga.

Ta. Kenapa kamu harus menamai jeda untuk waktu setelah senja dan sebelum malam itu? Aku tidak begitu percaya dengan jawabanmu itu, hatiku menyangkalnya. Seolah ada makna lain dari penjelasan itu. Tapi apa?

Jika kamu mengikrarkan diri sebagai senja dan aku? Katamu adalah waktu setelahnya. Tapi aku bingung, aku masuk waktu jeda itu atau malamnya. Apa kamu senja dan aku malam?  Tapi aku akan selalu bingung jika bukan kamu sendiri yang menjawabnya.

Saat menulis ini, hujan turun deras membasuh bumi, Ta. Seperti perasaan kita yang deras, yang akan selalu begitu selamanya. Apa kamu menyetujuiku?

Hujan malam hari ini membuatku tenang. Semua tentangmu membangkitkan memoriku. Pertemuan awal kita sampai sekarang ini terputar apik dalam kepalaku.

Jika kamu hujan deras yang membuat bumi basah. Aku rela menjadi bumi, tempat di mana semua tetesan airmu jatuh. Aku akan selalu tabah menerima setiap rintiknya.

Aku akan mengabadikanmu dalam setiap rintiknya. Akan kutitipkan semua itu lewat tanaman, hewan, juga manusia yang menikmatinya di bawah derasnya hujan itu. Akan kuikrarkan bahwa kamu adalah anak awan yang mensejahterakan.

Pohon yang menerimamu akan kegirangan. Mereka mengucap banyak terima kasih, membuat aku juga bahagia sebagai tempat di mana mereka berpijak.

Angsa yang berkecimpung dalam genangan airmu menggepakkan sayapnya dengan penuh syukur. Mereka mulai mengingat kapan terakhir kali bersuka cita dengan selega ini.

Manusia yang berlarian di bawahmu bahagia. Berharap agar kamu datang kembali dengan rasa yang sama. Rasa yang akan membuat mereka ingat tentang rindu, rasa yang membuat mereka luruh.

Malam ini. Telah aku titipkan secuil rindu lewat angin lembut yang menyapa daun telingaku. Semoga kamu mendengar rindu ini dengan lengkap tanpa cacat.

Mataku ingin memejam. Otakku ingin menyerah dan berhenti bekerja. Tapi tanganku menolaknya, Ta.

Alasannya kamu. Tanganku masih ingin mengabadikanmu dalam setiap kata yang dituliskannya. Ingin mengenang setiap inci kenangan yang pernah kau genggamkan bersamanya.

Jemariku tak akan lelah walau menuliskan seribu halaman dalam semalam.

Setiap otot dalam tanganku ini telah menerimamu sebagai tuannya. Berdoa semoga memang begitu nantinya.

Ta. Tolong marahi mata dan otakku yang ingin menyerah. Aku ingin menuliskanmu lebih panjang lagi dari ini.

Hei. Hampir tengah malam. Tapi rinduku masih menguar mengalahkan riuhnya hujan. Enggak rinduku, enggak aku. Semuanya egois. Hehe.

Jika kamu tahu aku menuliskan ini tengah malam. Pasti kamu akan marah karena aku yang tak memperhatikan kesehatan, dengan tidur pada jam yang tidak seharusnya.

Tapi jangan marah ya, Ta. Aruna takut tau, xixi.

Karena Ananta itu enggak cocok kalau mukanya judes. Eh, itu kalimatmu saat di bis dulu ya. Kamu mengatakan jika aku tidak cocok dengan ekspresi judes, ekspresi itu hanya cocok untuk Hara.

Aku ingin memelihara kucing boleh enggak, Ta? Biar aku enggak kesepian huhu.

Iya, sih emang ada Hara, Priya, dan kak Rania. Tapi kan mereka juga punya kesibukan sendiri. Masa iya aku harus sendirian terus? Sedih tau.

Ehh, bukan aku gak menganggap kamu ada ya, Ta. Tapi kamu juga enggak mungkin terus-terusan bareng sama aku. Kamu punya dunia sendiri yang tidak harus ada aku di dalamnya.

Hmm kira-kira aku sudah menuliskan berapa kata ya?

Sebentar ya aku hitung dulu.

Aku sudah selesai, Ta.

Aku menuliskanmu dalam 700 kata yang bermakna.

Malam ini, tanganku mengalah. Membiarkan otak dan mata untuk berhenti bekerja.

Selamat malam, Ta. Aku mencintaimu.

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang