33. Milikku, harus bersamaku

21 8 0
                                    

Marahnya orang diam lebih berbahaya.

🌆

Kamis, jam terakhir setelah pelajaran olahraga diisi dengan bahasa Indonesia. Bagaimana rasanya? Melelahkan tentu saja.

Apalagi dengan guru bahasa Indonesia yang super killer. Guru yang anti nego, anti nonton film, anti siswa yang terlambat masuk kelas. Sekali kalian melakukan kesalahan, maka akan mendapatkan tanda dengan nilai sebagai taruhan. Say good bye dengan nilai A jika kalian pernah berurusan dengan bu Tyra.

Sejauh ini, aku belum pernah berurusan dengannya. Tapi Priya, dia sudah pernah berdebat hebat dengan guru yang satu itu. Masalahnya berawal dari Joko yang menumpahkan minuman di tugasnya, entah itu di sengaja atau tidak tapi yang pasti amarah Priya langsung meledak.

Amarah Priya adalah salah satu hal yang paling dihindari dalam persahabatan kami. Dia akan menjadi buas saat emosinya terpancing. Tapi yang paling menyeramkan dari itu semua adalah emosi kak Rania.

Marahnya orang diam lebih berbahaya.

Ada untungnya juga kepala sekolah mengadakan rapat mendadak untuk guru bahasa. Guru semua bahasa, baik Indonesia, Inggris, Mandarin, juga Jerman. Kami jadi sedikit santai saat berganti seragam, meskipun nantinya akan ada tugas yang menggantikan guru tersebut.

Aku memelotokan mata saat melihat Ananta masuk kelas tanpa menggunakan atasan. Para siswi langsung berteriak, Ananta hanya cengengesan dan menghampiri mejaku.

"Pakai bajumu, Ta. Lihat respon mereka!" perintahku agar tubuhnya tak lagi menjadi tontonan kaum hawa yang pekikannya semakin tak karuan.

Dia langsung memakai seragamnya, tapi dengan pelan. Karena aku yang sudah tidak sabar, juga tidak kuat dengan kelakuaannya, alhasil aku juga membantu mengancingkan seragamnya.

"Ah, calon istriku manis sekali."

Teriakan mereka berubah menjadi racauan. Aku mencoba menutup telinga, suara mereka sudah tidak terkontrol lagi. Bisa-bisa gendang telingaku tuli karenanya.

"Oii, tugas-tugas!" teriak Wulan, ketua kelas yang suaranya bisa mengalahkan lima orang secara bersamaan. Telingaku yang tertutup rapat saja bisa mendengarnya dengan jelas.

"Ganggu aja anjir!" Suara Joko tak kalah lantang dari Wulan, tak hanya dia Chandra juga ikut menyuarakan suara hatinya.

"Padahal lagi uwu. Malah datang tugas, akhirnya aku hanya bisa bernyanyi. Ku menangis ... Membayangkan, bertapa kejamnya bu Tyra atas diriku. Pas adegan uwu, kok datang tugas melulu."

Ananta berjoget mendengar nyanyian Chandra.

"Goyang Sri!"

Srivilia, siswi kelasku yang mendengarkan teriakan Ananta langsung mengibarkan bendera merah tanda peperangan. Tapi, Ananta tidak perduli. Dia terus berjoget dan mengucapkan beberapa kalimat.

"Joko sama Wulan, gak ikut joget juga?"

🌆

Brak!

Ananta menggebrak mejanya saat mendengar pembacaan kelompok tugas penelitian dari bu Tyra. Sepele sih sebenarnya, dia sekelompok sama Hara.

"GAK! POKOKNYA NANTA MAU SAMA RUNA AJA! BILANGIN KE GURU SOK ITU!"

Amarahnya meledak-ledak. Aku sontak berdiri dan memegangi bahunya yang naik turun.

"Udah, Ta. Gak papa, kamu sekelompok sama Hara ya?"

Ananta menggeleng tegas, "Gak! Aku maunya sama kamu."

Aku menghela napas kasar. Bukannya aku tidak mau sekelompok dengan dia. Tapi, menyuarakan penolakan ke bu Lyra bukanlah hal yang tepat.

"Ta, bu Lyra bukan masalah sepele. Kamu mau dipersulit saat kenaikan nanti? Aku gak mau kamu harus menyusahkan diri sendiri hanya karena hal kaya gini ... Udah, ya."

"Enggak gitu, Na."

Aku diam sejenak, pasti akan ada penjelasan selanjutnya yang akan dia ucapkan.

"Aku gak mau kamu kecewa. Apapun yang berhubungan denganku, harus bersamaku."

Ta. Jangan mempersulit semua ini. Aku bingung ... Aku bingung dengan kalimatmu itu. Kecewa apa maksudnya hah?

"Tapi, kalau mau kamu kaya gini ya udah. Aku pasrah, aku bakal nurutin kamu. Oke, aku sekelompok sama Hara," jelasnya tiba-tiba. Pikiranku terbagi menjadi beberapa kubu.

Ada bagian senang, takut, sedih. Intonasi Ananta tak membuat perasaanku lega sepenuhnya. Tapi, semoga saja ini bukan pertanda apa-apa.

"Oke," finalku mengakhiri semuanya. Aku kembali ke bangku dengan perasaan tak menentu. Hara yang melihatku sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja segera menarikku dalam dekapannya.

"Aku akan menjaga sesuatu yang menjadi milikmu, Run. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku berjanji untuk itu, tenang saja ini hanya akan sebatas tugas."

Aku diam. Mencerna setiap kata dari Hara. Mencoba meyakinkan hati jika itu akan benar adanya. Semua akan baik-baik saja, harus.

"Oke, lanjut ya. Tadi sampai di Ananta sama Hara. Kalian kebagian pengamatan di pos sampah, amati kinerja di daerah sana. Tanya-tanya sama warga juga boleh. Sekarang Aruna, kamu sama Chandra."

Chandra nyengir lebar.

"Untung sama Runa."

Pengelihatan Ananta menyorot Chandra nyalang, "Gak usah bahagia. Aruna punya Ananta, jangan harap bisa nikung ya!"

"Santai Bos. Aing gak bakal nikung."

Wulan menghentikan perbincangan mereka berdua dengan melempar penghapus papan tulis.

"Kalian berdua dapat bagian ... penanggulangan daerah dalam mengatasi banjir. Ini mudah sih kayanya, tapi wajib terjun lokasi loh ya."

"Iya," tukasku cepat.

Kepalaku sakit lagi. Sudah lama rasa sakit itu tidak datang menekan. Kenapa harus datang lagi sekarang?

Ta, aku mendadak takut dengan semua hal. Apakah ini wajar?

🌆

Jokoo dan wulaannnn, wkwk

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang