16. Panahan

20 11 4
                                    

🌆

Ya Tuhan, itu Ananta bersama dengan Chandra dan ada lima orang lain dibelakangnya. Ada kak Arjuna juga kak Guntur. Tiga lainnya adalah dari golongan Ananta sendiri, yaitu Nuca, Raja, dan Laut.

"Kalian ngapain?" Ananta tiba-tiba merangkulku. Ish, ini seperti jadi kebiasaannya. Dikit-dikit ngerangkul, dikit-dikit gombalin, dikit-dikit ninggal. Astaga. Jangan sampai deh.

Kak Arjuna mengambil jarak yang lebih jauh dari kami. Kemungkinan yang aku bicarakan telah terjadi. Apa kak Arjuna marah kepadaku?

"Ini pas Ananta datang kenapa pada jadi patung sih? Pada syok sama kegantengan Nanta, ya?"

Hara melempar kerikil kecil itu ke Ananta. "Pede gila. Najis tau gak."

Untungnya Ananta berhasil menghindar dan melepaskan rangkulannya. Kak Awan pergi meninggalkan kami semua karena ada panggilan dari holkie tolkienya. Tinggallah kami berdua belas di sini. Tegang, seolah tidak ada yang saling mengenal.

"Idih, udah jelek jones pula. Kok bisa orang macam ini hidup." Ananta juga meladeni hinaan Hara. Mereka lama-kelamaan seperti anjing dan kucing. Yang selalu bertengkar apabila bertemu.

"Udah. Sekarang kita mulai pembagian partnernya. Karena yang sekarang ini hanya pemanasan untuk outbond utama. Jadi tunjukkan yang terbaik agar kalian bisa menang dalam outbond utama," jelas kak Arjuna kepada kami semua. Sekalipun dia tidak menoleh kepadaku. Ananta, kamu berulah apalagi?

"Jadi, kalian akan berkelompok dua orang untuk memaksimalkan kerja sama. Sekarang saya bagi ya kelompoknya. Dimulai dari ... Kamu, Aruna," ujar kak Guntur sambil menujukku.

"Kamu sama Nuca, ya. Terus Zoya sama Raja. Rania sama Chandra. Hara sama Ananta, dan terakhir Priya—"

"Enggak. Hara enggak mau sama Ananta," sergah Hara tidak terima dengan keputusan kak Guntur.

"Idih. Siapa juga yang mau satu kelompok sama nenek lampir." Menanggapi itu Ananta memutar bola matanya. Bisa tidak kalian berdua ini sehari saja berdamai tanpa ada percekcokan.

"Oke. Kalo gitu Hara sama Laut dan Priya sama Ananta. Tidak ada yang boleh protes!" tandas kak Guntur mengakhiri perdebatan Ananta dan Hara.

Mereka berdua saling mengolok dengan menjulurkan lidah masing-masing. Mendadak aku merasa tidak enak dengan ini semua. Bagaimana jika kebencian antara Hara dan Ananta menimbulkan cinta?

Tidak. Stop, Aruna. Jangan meragukan mereka berdua. Selalu pikirkan hal yang positif agar tidak ada benci yang menjadi cinta di antara mereka.

🌆

Aku dan Nuca ternyata dilatih untuk permainan panah. Di mana, aku yang akan ditutup matanya dan memainkan panah. Sedangkan Nuca mengarahkan aku agar panah itu tepat sasaran.

Ananta dan Priya sendiri mendapatkan bagian dalam permainan membawa bola dengan kepala. Untuk yang lainnya aku tidak tahu, karena kak Guntur membawaku bersama dengan Nuca menuju tempat latihan memanah.

Aku tidak paham tentang lokasi outbond milik villa ini. Pastinya tidak hanya ada satu lokasi saja, tapi sangat banyak.

Kenapa aku tidak sekhawatir saat Ananta bertengkar dengan Hara. Saat Ananta bersama dengan Priya, ada sedikit kelegaan. Entah karena apa. Apa aku cemburu? Tapi untuk apa. Bahkan, Ananta tidak pernah sekalipun memberikan perhatiannya untuk Hara. Ah, mungkin hanya aku yang terlalu berlebihan.

Aku memang tidak terlalu mengenal Nuca. Hanya sebatas tahu—karena dia teman Ananta sendiri, atau lebih terlihat seperti kumpulan geng mereka—dia cowok yang kelihatannya baik. Untuk pastinya, aku tidak tahu karena hanya Ananta yang menjadi fokus utama.

"Aruna. Kamu pacaran sama Ananta?" tanyanya mulai membuka topik pembicaraan di antara kami. "Ha?" Aku mendadak bingung sendiri. Apa aku dan Ananta pacaran? Sepertinya tidak ada kata pengesahan dalam hubungan kami, benar tidak?

"Kok bingung sendiri? Kalian pacaran kan?" Aku tak menjawab pertanyaan Nuca, langsung mengalihkan pandangan dari rerumputan sembari menunggu kak Guntur mengambilkan panah untuk kami.

"Dia belum nembak kamu, ya?"

Aku nyengir sendiri gara-gara pertanyaan ini. "Ditembak? Mati dong Aruna kalo ditembak sama Ananta."

Dia mendengkus kesal. "Ish bukan ditembak sama pistol. Gini, gini. Ananta udah menyatakan perasaannya ke kamu?"

Menyatakan perasaan? Seingatnya belum pernah. Bahkan dia baru dekat beberapa hari ini. Aneh, semua ini terasa membingungkan. Terlalu cepat gak sih menurut kalian semua? Mulai dari perhatian Ananta, semuanya. Ini jelas terlalu cepat.

"Belum kok. Eh, itu kak Guntur." Aku menujuk kak Guntur dan sekilas menatap Nuca.

"Ini panahnya." Kak Guntur berlari kecil dengan membawa sehelai kain di tangannya. Aku menerima panah yang diulurkan olehnya. Kak Guntur memasangkan kain tersebut sampai mataku tidak bisa melihat apapun.

Sepertinya kak Guntur mengarahkanku untuk berdiri di depan sasaran. Tapi aku tidak tahu bagaimana pastinya. "Nuca sini!" teriak kak Guntur yang posisinya lumayan dekat dengan telingaku. Ketara sekali dari intonasi teriakannya.

"Jadi gini Ca. Nanti arahin panah Aruna biar dia bisa membidik tepat sasaran. Poin utama adalah bundaran merah kecil itu. Jangan sampai meleset."

"Oke Kak." Aku merasakan seseorang itu memegang tanganku di busur panah. Sepertinya anak panah mulai dipasangkan.

Ctak.

"Ca berhasil gak?" tanyaku padanya. Aku tidak tahu sasaran itu sampai di mana. Ya, karena tutupan mata ini.

"Berhasil sih berhasil Run. Tapi jauh banget dari targetnya." Aku cemberut karenanya. Ternyata aku sepayah ini ya.

Hembusan napas menyapa leherku. Tangan Nuca berubah ya sekarang? Perasaan tadi enggak sebesar ini deh. Hingga suara itu menyadarkan aku.

"Memanah melatih emosi untuk meletakkan ‘target’ pada satu tujuan, Aruna. Bila emosi kita terganggu, sudah tentu tujuan bakal mudah melenceng. Jadi fokuskan pikiranmu pada bidikan itu saja. Jangan memikirkan Ananta, apalagi aku, Arjuna."

Deg. Ini kak Arjuna. Ya ampun. Kenapa Aruna sekarang jadi pindah hobi ya. Dari hobi rebahan menjadi maraton jantung. Argh, ini semua penyebabnya adalah Ananta. Untuk pertama kali, jantungnya berdetak tak tahu diri karena Ananta.

"Fokus Run." Suara lembut itu menyapa sopan telinganya. Aku meyakinkan diri, harus bisa.

Ctak.

"Gimana kak?"

"Perfect. Bagus Aruna."

Rasanya pipiku mulai memanas hanya karena tiga kata saja.

🌆

WOYLA KOMEN NAPA
DIEM-DIEM BAE
MAU JADI PATUNG?

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang