30. Senja dan Hujan

22 7 0
                                    

🌆

Saat kami sampai di bukit. Senja benar-benar indah. Pekat. Ditambah satu-persatu lampu di bawah bukit mulai menyala. Membuat semua hal terlihat semakin indah.

Ananta. Dia juga semakin indah.

Kali ini dia tidak membawa gitarnya turut serta. Padahal seru kalau dia juga membawanya. Ada saja lagu aneh yang dia ciptakan untuk menemani kami. Meskipun aneh, tapi aku suka.

"Na, aku senang karena senja kali ini tak semerah saat pertama kita kesini. Karena aku yakin, semakin merah warna senja. Artinya kamu sedang tidak baik-baik saja. Merahnya senja adalah duka untuk Aruna. Aku gak suka senja warna merah, karena aku enggak suka lihat kamu sedih."

Aku menengadah menatapnya dengan tatapan takjub. Bagaimana bisa Tuhan menciptakan insan semanis Ananta. Seseorang yang tidak akan pernah ada tandingannya dalam membuatku terkesan.

"Kamu kok tahu?" tanyaku ingin memperjelas. Bukannya aku kurang jelas. Tapi aku ingin mengenal lebih dalam tentang pemikirannya kali ini.

"Aruna artinya merah. Itu sudah cukup mengambarkan tentang semuanya. Kamu dan senja yang menyatu, itu adalah cara Tuhan membuka pandanganku."

Sungguh. Alam baik sekali kali ini. Mendatangkan senja yang semestinya. Membuat pandangan Ananta semakin mekar menyita asa.

Aku terdiam. Menatap senja yang memang terlampau indah.

"Kamu tahu alasan kenapa malam ada setelah senja?"

Pertanyaan tiba-tiba dari Ananta itu membuatku menoleh. "Karena malam gelap, Ta. Sedangkan senja adalah akhir dari matahari yang akan kembali ke peraduannya. Jadi bener dong kalo senja dulu baru malam."

Dia malah tersenyum saat aku menjawab begitu.

"Jeda."

Jeda? Kenapa harus jeda. Ananta ini, sudah manis malah ditambah dengan teka-teki. Memangnya aku sanggup mengatasi ini semua? Tidak, Ta. Jadi tolong perjelas semua ucapanmu itu.

"Kok jeda?"

Ananta menyibak anak rambut yang menutupi mataku.

"Setelah senja dan malam itu peralihan, Na. Ada waktu sakral di tengah-tengahnya. Itu adalah jeda untuk semua orang. Di mana orang Islam akan mendengarkan adzan yang bekumandang dan menunaikan kewajiban."

Aku percaya saja. Toh kenyataannya juga begitu. Tapi rasa-rasanya ada yang kurang. Mungkin jawaban itu harus aku cari sendiri nanti.

"Kalau misalnya enggak ada senja. Gimana ya, Ta?"

Aku memetik tangkai bunga bandotan yang berwarna ungu muda. Memisahkan beberapa bunga yang ada di tangkainya. Ananta mengembulkan pipinya, sepertinya dia sedang memikirkan jawaban yang pas.

Dia menghembuskan napas dan menjawab, "Enggak akan ada aku, juga kamu. Karena kamu adalah waktu setelah senja ada. Sedangkan aku adalah senjanya."

Kenapa aku tidak suka jika Ananta mengibaratkan dirinya sebagai senja. Senja itu hanya sebentar. Aku enggak mau kalau Ananta ada di hidupku hanya sebentar. Karena aku sudah terlanjur mengikrarkan dia untuk menjadi bagian dalam hidupku, selamanya.

Egois. Sangat egois.

"Aku enggak suka kamu jadi senja."

Ananta menoleh, menatapku dengan senyum miringnya, " Kamu pasti mikir kalau senja itu jahat karena datang hanya sesaat dan juga terkadang enggak datang lagi besoknya. Tapi poinnya bukan di situ. Senja selalu memberikan inspirasi untuk banyak orang, senja selalu memberikan yang terbaik untuk mereka yang sedang patah atau bahagia."

Ananta meluruskan kaki dan mulai melanjutkan kembali kalimatnya, "Kamu pasti juga mikir kalau senja memberikan harapan, memberikan kepastian tapi senja juga yang mengakhirinya, padahal enggak gitu, Na. Kamu yang terlalu menggantungkan semua itu pada senja. Seharusnya kamu ngerti kalau senja tidak hanya untukmu saja, banyak orang yang juga mendambanya."

Kenapa argumennya membuatku bungkam. Selalu saja seperti itu.

Senja sore ini memberikan makna lain untukku. Aku yang sedang bahagia merasa semakin sempurna dengan kehadirannya. Terima kasih Ananta telah membuka hatiku untuk kemungkinan lainnya. Aku mencintaimu, Ta.

🌆

Tak biasanya hujan turun seperti malam ini. Apalagi tidak ada tanda-tandanya sejak sore tadi. Aneh.

Aku berjalan mendekati jendela. Tempias air membuat kacaku basah dan berembun di bagian dalam. Entah karena tidak bisa tidur atau memang aku merindukan Ananta, lagi. Jariku lihai menulis di kaca, menuliskan kalimat yang terpatri dalam otak tiba-tiba.

Kamu bukan hanya senja, Ta. Tapi juga hujan yang memberikan ketenangan.

Ananta adalah hujan yang menetramkan, yang membuat perasaanku semakin menuturkan syukur karena adanya dia. Intuisiku meyakinkan bahwa Ananta memang sebuah takdir yang direalisasikan lewat hadir.

Dia adalah hujan yang mampu meresonansi relung sepiku. Membuat gaduh. Ruang kosong yang awalnya berdebu karena tak ada yang pernah sampai di titik itu, Ananta telah mengisinya. Menerbangkan debu-debu itu dan membersihkannya seperti saat dulu baru aku ada.

Dia adalah hujan yang membuat katak bernyanyi riang. Menghilangkan kegundahanku karena sendirian di rumah. Mama dan Papa mendadak ada tugas keluar kota lagi setelah aku pulang bersamanya.

Dia adalah hujan yang memberikan ketabahan untuk semua orang. Meski tidak menjanjikan pelangi untuk datang. Tapi dia selalu menintikkan airnya penuh dengan keikhlasan.

Dari Ananta aku bisa menerima semua hal tentang hujan. Tapi tidak untuk luka. Aku tidak terbiasa untuk itu.

Ananta akan selalu menjadi hujan deras yang selalu turun tanpa henti. Hujan tanpa petir yang membuat orang-orang berlarian di bawahnya bahagia tanpa khawatir.

Beberapa menit berlalu dengan suara hatiku yang menceritakan Ananta.

Embun membuat tulisanku semakin memburam karena luruhannya. Hanya tulisan ini yang hilang. Bukan perasaannya apalagi perasaanku.

Sepertinya malam ini aku harus menuliskan tentang Ananta lagi. Dia selalu layak untuk dituliskan, apalagi di malam yang tenang dan syahdu seperti saat ini. Ditemani semilir angin sejuk aku akan mengabadikannya.

Semoga dalam tidurmu. Kamu bisa merasakan semua perasaan ini, Ananta Dewa Bharata.

🌆

Gimanaa gimanaa?

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang