Hai, aku Aruna Citra Utari. Ini bukan buku untuk pangeran berkuda merah, tapi buku untuk Ananta. Jadi, aku memutuskan untuk memakai buku baru, karena buku untuk pangeran berkuda merah sudah dibaca oleh Priya. Alhasil aku harus merelakan banyak kata yang ada di dalamnya.
Dia Ananta Dewa Bharata. Laki-laki dengan dua mata, dua telinga, satu hidung dua lubang, dan satu mulut. Sudah komplit kan? Tunggu-tunggu ada yang kurang, dia adalah pemilik senyum paling manis dan pandai menggombal.
Sebelumnya, aku tidak berniat untuk mengungkit hal yang sudah berlalu. Bahkan sudah ada lagu yang mewakilinya. Kalian pernah dengar lagu ini?
Biarlah semua berlalu pergi dan takkan kembali. Kini aku relakan, kini aku relakan.
Hayo, siapa yang bacanya bernada?
Setelah aku pikir-pikir kembali. Aku harus menuliskan semua kejadian bersama Ananta di buku ini. Agar kelak kami bisa bernostalgia bersama. Semoga, aku dan dia akan selamanya.
Hari pertama orientasi. Tidak ada yang menarik kecuali Ananta yang meminta berkenalan denganku. Dengan caranya sendiri.
Tiba-tiba dia duduk di mejaku. Tersenyum, dan memberikan satu bolpoin lucu yang langsung membuatku jatuh cinta. Jatuh cinta kepada pemiliknya, juga pada bolpoin pemberiannya.
"Itu papan, ini masa depan.
Itu bangku, ini kamu.
Aku Ananta, kamu Aruna.
Kalo Ananta Aruna, itu kita."Aku Aruna. Kamu sudah mendapatkan jawabannya bahkan sebelum aku mengatakannya.
Hari kedua orientasi. Ada tiga kejadian, menyenangkan, mengesalkan, dan mengecewakan. Bagian menyenangkan, itu saat Ananta menolongku yang hampir jatuh di depan mading.
Untuk bagian mengesalkan. Itu saat Bima menghina tinggi badanku yang kurang maksimal dan menyuruhku berlari dua belas kali di lapangan sampai aku pingsan.
Ternyata yang membawaku ke UKS bukan kak Arjuna, benar Ta? Ternyata orang itu kamu, Ananta. Aku baru tahu sore tadi saat Priya menceritakan semuanya. Aku jadi terharu, tapi aku sedikit kecewa karena bukan kamu yang pertama kali aku lihat setelah pingsan.
Bagian kecewa. Itu saat Chandra yang mengantarkanku pulang menggunakan motormu. Aku kecewa, kenapa bukan kamu saja, Ta. Priya mengatakan, jika kamu pergi menghajar Bima dan menyuruh Chandra untuk mengantarkanku. Sebenarnya kamu tidak perlu repot untuk menghajar Bima. Itu terlalu berbahaya untuk dirimu sendiri.
Lain kali jangan bertengkar, Ta. Aruna enggak suka. Aruna enggak mau Ananta terluka.
Priya juga mengatakan sesuatu yang membuatku sakit, Ta. Saat Hara pergi meninggalkan aku di halte, ternyata dia berputar balik, memisahkan kamu dan Bima yang sedang bertengkar.
Seharusnya itu posisiku. Seharusnya aku yang di sana. Aku yang seharusnya memarahimu, bukan Hara sahabatku. Dia bukan siapa-siapamu, Ta. Lantas aku ini siapa? Aku juga bukan siapa-siapamu kan? Argh, kenapa kamu membuatku serba salah seperti ini.
Aku ingin memarahi Hara karena dia telah lancang ikut campur dalam masalahmu. Dia juga mengantarkanmu pulang. Aku cemburu, Ta!
Seharusnya, kamu tak usah menyuruh Chandra untuk mengantarkanku pulang. Lebih baik aku pulang sendiri naik angkot dan pasti rasa kecewa itu lebih minimal daripada harus tahu ternyata kamu pulang diantarkan oleh Hara. Yang bahkan meninggalkanku sendirian di halte.
Maaf, aku jadi emosi sendiri.
Pertanyaanku kenapa kamu dipanggil kak Awan dan kak Guntur waktu itu akhirnya terjawab. Pihak osis tahu kalau kamu yang menghajar Bima. Hanya satu pertanyaan yang belum terjawab untuk hari itu, apa yang mereka lakukan padamu di ruang hukuman?
Malam harinya, kamu sukses membuatku bahagia. Aku tak menyesal mengikuti permainan mereka. Karena dari sanalah, kamu mulai menghubungiku. Juga soal martabak serta pelukan lima detik di depan rumah Hara.
Itu pertama kalinya aku merasakan jatuh sejatuh-jatuhnya.
Ananta. Kalau kamu ingin tahu. Aku menuliskan ini pukul delapan malam, ditemani bolpoin unicorn pemberianmu itu. Juga ditemani semilir angin yang masuk dari jendela yang sengaja aku buka. Siapa tahu semilir angin ini akan memberitahukan semuanya padamu. Tentang semua hal yang aku tuliskan, cemburu serta rindu yang kenapa menghujam padahal kita baru bertemu beberapa jam yang lalu.
Luka yang baru aku sadari di bis itu. Ternyata ada sejak kamu berantem dengan Bima. Ah, iya hampir saja lupa. Terima kasih sudah mau melindungiku dari mentari waktu itu, juga untuk janji-janjimu aku berharap semoga kamu menepatinya.
Ta? Kamu cemburu ya? Waktu aku dan Nuca satu partner? Jujur saja, Ta. Aku senang jika kamu memang cemburu. Artinya cintamu tidak main-main. Kalau untuk aku dan kak Arjuna, apa kamu cemburu juga, Ta?
Ah, iya. Aku belum menceritakan kejadian saat aku hilang di hutan. Itu sepenuhnya salahku, bukan salah kak Guntur. Dia juga mengatakan beberapa kalimat, jika aku hilang dia akan kena marah. Apa kamu yang akan memarahinya, Ta?
Gara-gara godaan kecilnya itu aku lari dan akhirnya tersesat. Aruna takut banget waktu itu. Bahkan Aruna juga menyebut namamu, Ta. Kurang lebih begini, "Ananta ... Runa takut." Tapi Runa beneran gak tau mau ngapain. Kaki Runa kedinginan, apalagi Runa enggak pakai jaket. Ananta jangan marah soal itu ya hehe.
Aku mau bilang sesuatu, Ta. Aku sedikit cemburu saat melihat kamu dan Hara bertengkar. Seperti ada rasa tidak terima. Ananta, lain kali jangan deket-deket sama Hara ya. Kamu mau Arunamu ini kecewa? Tapi sudahlah, jangan dipikirkan.
Ta, sudah dulu ya. Seseorang mengetuk pintuku. Terima kasih untuk beberapa hari ini. Selamat malam Ananta♡.
—Untuk Ananta, ini tulisan pertama dari Aruna, seseorang yang mencintaimu:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Manuskrip Jeda [Selesai]
Ficção Adolescente"Kamu tahu alasan kenapa malam ada setelah senja?" Pertanyaan tiba-tiba dari Ananta itu membuatku menoleh. "Karena malam gelap, Ta. Sedangkan senja adalah akhir dari matahari yang akan kembali ke peraduannya. Jadi bener dong kalo senja dulu baru mal...