36. Dia Menyatakannya

26 6 0
                                    

Aku adalah Awan, Run. Awan selalu memberikan kesempatan bintang untuk menampakkan sinarnya.

🌆

Aku menoleh, tetes hujan membuat pengelihatanku kabur. Sekilas aku melihatnya di bawah payung lebar. Dia, Kak Awan.

"Woy Pendek! Jangan bundir di sini, kurang elite. Mending lompat dari gedung apartemen saya aja!"

Astaga. Tolol banget sih mantan ketua OSIS-ku ini. Aku itu enggak ada niat sama sekali untuk bunuh diri, suka ngaco deh. Ah, iya dia tetap menggunakan kata saya sejak pertama kali berbicara.

"ISH! SIAPA YANG MAU BUNDIR?" Aku berteriak agar suaraku tidak tertelan hujan yang semakin ganas.

Kak Awan memayungiku. Bahkan semakin merapatkan tubuhnya. "Kak jangan dekat-dekat aku, nanti Kakak ikutan basah."

Dia mendekapku erat, "Seandainya bukan Arjuna atau Ananta, saya pasti menjadikanmu sebagai milik saya sendiri."

Heh. Apa ini? Kenapa dia mengatakan ini semua. Aku bukan milik Ananta sekarang, apalagi kak Arjuna. Perubahan mendadak dari Kak Awan membuatku bingung sendiri.

"Kak jangan gitu dong, Aruna jadi ngerasa bersalah."

"Enggak ada yang salah di sini, yang salah perasaan saya Run. Perasaan yang sejak awal tak seharusnya ada. Jadi?"

Aku mendongak, menikmati pahatan Tuhan yang semakin indah di bawah hujan, ditemani malam yang tetap cerah meski tetesan itu merenggut bintang-bintangnya. Apa malam mengikhlaskan semuanya?

"Maaf ya, Kak. Aruna bingung mau jawab apa untuk ini semua. Aruna ... Enggak bisa membalas perasaan kak Awan."

Dia menggeleng. "Tidak perlu dibalas, Aruna. Saya hanya ingin melihat senyum itu terpahat sempurna, itu sudah lebih dari cukup."

Bukan keputusan mudah untuk merelakan perasaan sendiri, betul? Aku tahu ini berat untuk Kak Awan. Tapi, apa yang bisa aku lakukan selain diam dan menatap wajahnya.

"Jika mereka berdua tidak memperlakukanmu dengan baik. Menolehlah kebelakang, ada saya di sana. Seseorang yang akan siap menerima peluk rapuhmu itu."

Bolehkah aku memelukmu sekarang? Salah satu dari dua orang itu telah mengecewakanku, Kak. Ananta ... Dia berselingkuh dengan Hara. Aku rapuh sekarang.

"Kalau mau peluk sekarang juga boleh. Saya tahu kamu ingin mengatakan itu. Silahkan, saya mengizinkanmu."

Aku memeluknya erat, berharap waktu tak usah mempertemukanku dengan Ananta. Kak Awan lebih mengerti tentang ini semua.

Rasa. Aku tak akan menaruhnya lagi kali ini, cukup untuk beberapa bulan yang berakhir menyedihkan. Kak Awan, bolehkah aku menganggapmu sebagai kakak saja? Setidaknya itu akan lebih baik, bukan?

🌆

Tak kusangka, rumah kak Arjuna lah yang menjadi tempatku berada sekarang. Setelah mamanya memberikan pinjaman baju, beliau juga memasakkan kami makanan. Ternyata rumahnya tidak telalu jauh dari jembatan.

Pantas saja kak Awan tidak mengatakan apapun saat aku menanyakan tujuan membawaku pergi dari jembatan.

"Ma, bantu cek suhu Aruna. Arjuna takut kalau dia demam. Kata Awan dia hujan-hujanan di belakang jembatan."

"Iya tuh, Tan. Aruna hujan-hujanan hampir sejam." Kak Awan juga menambahi argumen tak benarnya.

"Tidak usah, Tante. Eh, Ma. Aruna baik-baik saja kok."

Mama kak Arjuna meninggalkan kami bertiga di ruang keluarga. Aku memelototi mereka berdua bergantian. Kesannya aku jadi merepotkan, ish menyebalkan.

"Bodo, wle." Kak Awan menjulurkan lidahnya. Dia nampak baik-baik saja. Kenapa dia sekuat itu menyembunyikan rasa yang tidak pernah mudah? Dengan mudahnya dia tertawa, mengejekku dengan topengnya.

Kak Arjuna berpindah di sebelahku. "Makin gede, makin bodo aja si mantan ketua OSIS."

"Tan ... Juna ngomong kasar!" teriak Kak Awan. Membuat Mama Kak Arjuna tergopoh mendekati kami bertiga dengan termometer di tangannya.

"Juna! Bisa-bisanya kamu! Apalagi di sini ada Aruna!"

Hei, apa hubungannya denganku? Bukankah kami hanya sebatas adik kelas dan kakak kelas saja. Itu pikiranku sebelum Kak Awan mengatakan semuanya.

Kak Arjuna juga mencintaiku. Kak Awan mengatakannya tadi, saat aku memeluknya erat.

"Arjuna, dia mencintaimu Run ... Itu sebabnya saya tidak punya hak mendapatkan balasan untuk perasaan ini."

Menyakitkan menjadi seseorang seperti Kak Awan, menurutku begitu. Dia selalu mampu menyembunyikan semuanya. Membuat semua hal terlihat baik-baik saja.

Aku juga bertanya, kenapa dia rela mengorbankan perasaannya. Jawabannya membuatku tertohok.

"Aku adalah Awan, Run. Awan selalu memberikan kesempatan bintang untuk menampakkan sinarnya."

Kenapa dia harus memilih untuk menjadi awan yang tidak terlihat?

Mama kak Arjuna mengagetkanku dengan memegang lengan yang sudah lebih hangat daripada tadi.

"Buka mulut kamu, Sayang!"

Termometer itu tepat berada di bawah lidahku.

"Ma, sudah menelpon mama Aruna?"

Aku menoleh pada Kak Arjuna yang tepat berada di sebelahku. Hampir saja aku lupa jika mereka saling mengenal.

"Sudah. Aruna nginep di sini aja, besok seragamnya dianterin sama mamanya. Ah, iya Awan. Kamu juga nginep di sini ya, nanti tidur bareng Juna."

Kak Awan tampak berpikir keras kali ini, sampai terlihat kerutan jelas di dahinya. "Tapi, seragam saya bagaimana Tan?"

"Tante telponkan papa kamu, biar besok kalian berangkat bersama sekalian."

Apakah kami sanggup bersama dalam satu mobil besok? Bagaimana tanggapan orang-orang tentang hubunganku dengan Ananta? Sudahlah. Aku ingin istirahat dengan cepat malam ini, tapi tunggu sampai termometer di mulutku menyelesaikan tugasnya.

🌆

Hmm, pindah haluan ke Awan dong aing:((

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang