🌆
Sudah beberapa kali aku mencuri pandang pada Ananta yang sibuk sendiri bersama teman-temannya. Bermain air ditengah kolam renang.
Sejak outbond utama selesai, Ananta tidak sekalipun menggoda atau menyapaku. Aku gusar sendiri karenanya. Kata Priya, Ananta cemburu kepada Nuca, karena saat pertandingan memanah tadi Nuca memegang tanganku. Padahal, aku tidak merasakan keuwuan sama sekali bersama Nuca tadi.
Kak Rania yang basah kuyup duduk di pinggiran kolam bersebelahan denganku. "Aruna, kamu enggak mau main air?"
Aku menatap Ananta yang terlihat ganteng. Dia menoleh saat tatapanku begitu rekat. Aku memalingkan wajah untuk menetralisir detak jantung, tatapan menguhusnya mengguncangku.
"Gak mood Kak." Aku bersandar dibahu kak Rania, sengaja membuat kaos yang kukenakan basah.
"Ananta ya?"
Aku berdeham. "Menurut Kakak, Aruna ada salah sama Ananta, ya?"
"Enggak kok. Mungkin Ananta cemburu sama Aruna."
Kalo misalnya dia cemburu. Kenapa dia enggak ngomong. Darimana Aruna tahu kalo Ananta cemburu kalo dia bungkam seperti ini. Aruna bukan orang yang bisa membaca fikiran seseorang.
"Aruna harus gimana?"
Kak Rania menegakkan kepalaku. "Ikut Kakak." Dia menarikku masuk kedalam kolam. Perlahan bajuku basah karena kami semakin menengah, mendekati Ananta.
"Nanti, bilang ke Ananta gini. Kamu cemburu? Gitu ya, Run." Aku menganggukkan kepala saat kak Rania berbisik seperti itu.
Kak Rania melepaskan cekalan tangannya dan meninggalkan aku yang semakin dekat Ananta.
"Kamu cemburu, Ta?" tanyaku tiba-tiba membuat dia dan teman-temannya menoleh. Ananta beringsut mendekat, kakiku mendadak berat.
"Iya, aku cemburu." Dia memegang lenganku erat seolah mengisyaratkan jangan pergi. Aku tersenyum senang. "Maaf ya, aku enggak ada niat sama sekali untuk membuat kamu cemburu. Aku akan selalu jaga hati untuk kamu, dan semoga kamu juga bisa begitu."
Aku sebenarnya ingin mengatakan beberapa patah kata lainnya, tentang cemburuku kepada Hara secara tidak langsung. Aku urung mengatakannya, karena tidak ada alasan jelas yang bisa memperkuat cemburuku ini.
"Aku janji bakal jaga hati untukmu seorang, Na. Enggak ada yang bisa bertahta selain kamu. Ini janjiku, disaksikan air ini, temanku, temanmu, juga alam yang menaungi."
Tiba-tiba cipratan air mengenai wajah Ananta, sepertinya beberapa tetes masuk kedalam matanya.
"Hati-hati sama omongan buaya Run. Jatuh cinta boleh, bego jangan. Nanti kalo kebanyakan makan omongan manis malah diabet. Susah."
Hara sudah ada di sebelahku. Menatap Ananta dengan tatapan tidak suka. Sebenarnya ada masalah apa dengan mereka berdua?
"Ananta jadi heran. Kok ada nenek lampir yang hobinya ngurusin hidup orang lain. Kaya hidupnya udah bener aja. Masa tiap Ananta ngomong sama Aruna selalu aja disela, selalu dibantah. Kalo iri ngomong aja. Pantes jadi jomblo ngenes, emangnya siapa yang mau sama cewek macam lampir ini," cerca Ananta sembari tersenyum miring.
Ini keterlaluan. Hara salah. Ananta juga salah. Mereka berdua selalu membuat getaran tak mengenakkan. Menyebabkan sesak.
"Hara sumpahin. Ananta bakal jatuh cinta sama Hara." Usai kalimat itu terucap. Hara menutup mulut dengan kedua tangannya. Aku sendiri kaget, rasanya ingin marah tapi tak bisa.
"Maaf Run. Enggak sengaja tadi. Hara enggak maksud buat ngomong itu." Mata Hara mulai memerah, satu-persatu cairan bening lolos dari matanya.
Aku memeluknya. Hanya karena air mata itu pertahananku hancur. "Enggak papa Hara. Hara enggak salah kok."
Semesta ... Aruna takut.
🌆
Aku melambaikan tangan pada Hara yang pergi bersama mamanya. Niat kami untuk tidur di rumah Priya harus tergagalkan karena kondisi nenek Hara yang kritis. Alhasil aku pulang bersama dua orang ini.
Bis sekolah yang seharusnya digunakan oleh rombonganku ternyata mogok. Entah dosa apa yang telah kami lakukan sehingga rebahan yang aku rencanakan harus dibatalkan. Aku rindu rebahan ges.
Akhirnya, pihak sekolah menyuruh kami untuk menelepon orang tua. Karena tidak mungkin menunggu bis sampai nanti malam.
Dua jam kemudian, kak Altas—kakak Priya— datang menjemput kami. Aku menemui Ananta, menyampaikan beberapa kalimat sebelum aku pulang duluan.
"Ananta. Jangan lupa pakai jaket, udara semakin dingin. Kamu beneran bawa dua jaket kan? Kalo enggak, ini aku balikin jaket kamu."
Dia menangkup pipiku dengan tangannya. "Iya Aruna. Tenang saja. Jangan coba-coba untuk mengembalikan jaket itu atau aku akan marah."
Aku tersenyum dan memegang kedua tangannya yang masih menangkup pipiku. "Iya. Aku duluan, Ta."
"Hati-hati, Aruna. Kabari aku jika sudah sampai."
"Kabari aku juga jika kamu sudah dijemput, Ta."
Aku melambaikan tangan sebelum masuk mobil. Ananta, baju hangat ini akan selalu menjadi baju hangat favoritku. Karena ini, sudah menjadi bukti pertama tentang rasa kita.
Priya sesekali menggoda kak Altas yang notabenya adalah mantan dari kak Rania. Mereka menjalin hubungan sudah dua tahun. Tapi, gara-gara kak Altas yang kebanyakan fans dan kak Rania sendiri malas dengan terror-terror fansnya kak Altas, akhirnya mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan dan berteman seperti sediakala.
Kak Altas sendiri masih setia dengan status jomblonya. Sedangkan kak Rania sudah menjalin hubungan dengan Nakula.
"Eh, Run. Kamu tahu alasan kenapa Chandra yang jemput kamu di halte waktu itu?"
Ha? Halte. Oh, iya Aruna ingat.
"Enggak tau. Tapi Chandra jemput Aruna pake motor Ananta loh, aneh gak sih menurut kalian?" tanyaku setelah ingat kejanggalan motor yang digunakan oleh Chandra.
"Ya enggak aneh lah. Aruna kan enggak tau yang sebenarnya. Udah ah, Rania mau tidur." Kak Rania mulai memejamkan matanya, membiarkan aku yang bertanya-tanya soal ketidaktahuan itu.
"Run, cowok bakal lakuin apapun demi cewek yang disayanginya." Aku mendengar keseriusan dari ucapan kak Altas. Apa memang benar begitu?
🌆
Hmmmm
KAMU SEDANG MEMBACA
Manuskrip Jeda [Selesai]
Fiksi Remaja"Kamu tahu alasan kenapa malam ada setelah senja?" Pertanyaan tiba-tiba dari Ananta itu membuatku menoleh. "Karena malam gelap, Ta. Sedangkan senja adalah akhir dari matahari yang akan kembali ke peraduannya. Jadi bener dong kalo senja dulu baru mal...