28. Perjodohan?

14 7 1
                                    

🌆

Kak Arjuna, Arjuna Darma Wisesa. Seseorang yang kini berdiri di daun pintu dengan setangkai mawar merah, ditambah juga dengan senyum manis. Berbanding terbalik dengan keadaan di sekolah tadi. Bagaimana senyum tipis pun tidak hinggap di bibirnya.

Dia masuk dan berdiri dihadapanku. Mengulurkan mawar tersebut, "Untukmu. Seseorang pencinta warna merah."

Hei. Tepat sekali. Tahu dari mana dia soal semua ini? Apa dia peramal? Bahkan orang tuaku sendiri tidak tahu warna kesukaanku, karena pastinya mereka menganggap aku menyukai warna pink.

Seperti kejadian tempo hari, dimana aku salah memberikan tas warna pink yang kuambil asal-asalan. Alhasil, rata-rata sesuatu yang dibelikan mereka berwarna pink. Karena mereka beranggapan aku suka warna pink. Memang, tidak terlalu jelas.

"Terima kasih, Kak."

"Hei. Kalian saling kenal?" tanya mama kak Arjuna juga mamaku, bersamaan.

"Iya Ma," jelasku dan kak Arjuna, bersamaan juga.

"Jodoh enggak akan kemana. Udah saling manggil mama ke camernya."

Ananta. Kenapa masalah jodoh aku teringat Ananta.

Kak Arjuna duduk di sebelah mamanya. Tidak menghiraukan kalimat yang diucapkan oleh mamanya tadi.

"Kalian kenal di mana?" Papa mulai menginterogasi. Pasti ada apa-apa ini.  Aku yang mencium bau dari mawar pemberian kak Arjuna langsung menegakkan tubuh.

"Dia kakak kelasku, Pa."

"Nama kamu siapa, Nak?" Sekarang gantian mama yang mulai rempong.

"Arjuna, Tante." Dari sini terlihat mama kak Arjuna yang menyikut putranya itu, dan segera kak Arjuna mengubah ucapannya.

"Arjuna Darma Wisesa, Ma."

"Kamu WhatsApp-an sama Aruna ya?" selidik Papa dengan menajamkan pengelihatannya. Waduh, papa ini sebenarnya tahu dari mana sih?

Tadi tahu soal Ananta. Sekarang kak Arjuna. Besok siapa? Kak Awan? Kak Guntur? Kalau Bima pasti enggak mungkin. Karena aku tidak akan pernah berdamai dengannya.

"Iya, Pa."

Aku menebak, kak Arjuna tidak ingin disikut mamanya lagi. Oleh karena itu, dia langsung menyebut papaku dengan sebutan 'Pa' bukan 'Om'.

"Nak Aruna kok bisa kenal sama Arjun? Itu bagaimana ceritanya?"

Sekarang papanya kak Arjuna juga ikutan rempong. Malam ini semua orang rempong sendiri.

"Kak Arjuna jadi salah satu panitia mos, terus dia nolongin Aruna pas pingsan. Jadi kenal dari sana deh. Itu pertama kali Aruna ketemu sama kak Arjuna."

Papa kak Arjuna menganggukkan kepalanya. Sedangkan kak Arjuna malah menggeleng.

"Enggak, Pa. Itu pertemuan ketiga kami."

Aku mengerutkan dahi. Kok ketiga? Yang pertama sama kedua di mana? Bahkan aku tidak ingat sama sekali jika pernah bertemu kak Arjuna sebelum kejadian di lapangan bersama dengan Bima itu.

"Pertemuan kedua itu di taman. Jam enam kurang tujuh menit, tanggal dua belas April. Cuaca cerah tidak ada tanda-tanda akan mendung, tapi kamu pakai sweater abu-abu seolah hari itu dingin banget."

WOW! Kenapa dia hafal semuanya. Mulai tanggal, bulan, bahkan sampai baju yang kupakai juga. Padahal saat itu kami belum saling mengenal.

Menanggapi kalimatnya aku tertawa kecil juga menimpali, "Padahal aku aja enggak ingat sedetail Kakak."

Salut juga sebenarnya, aku sebagai pelaku tapi membiarkan pengamat yang mengetahui semuanya. Apa aku pelaku yang tidak handal ya? Apa aku perlu menjadi seorang pengamat saja agar bisa memetakan semua kejadian?

"Kamu tidak bisa memilih antara menjadi pelaku atau pengamat tanpa melihat tantangan yang ada didalamnya, semuanya akan membuatmu bingung sendiri," ungkapnya tiba-tiba.

Jangankan soal memilih, memahami ucapan dari kak Arjuna saja sudah membuatku bingung. Kenapa semua orang suka berkata-kata susah seperti ini?

"Hus. Kalian ngomongin apa sih?"

Tidak ada yang menjawab pertanyaan dari Papaku. Papa kak Arjuna langsung mengalihkan topik, topik yang membuatku mendadak bimbang.

"Wah kalau sudah kenal begini tinggal tentuin tanggal, beres."

Ananta, lagi lagi menganggu. Pikiranku menembus batas yang tak seharusnya ada hanya karena sembilan kata itu. Perjodohan, otakku sampai dibatas sana.

"Jangan dikengkang dulu. Biarkan mereka menikmati masa yang seharusnya. Kasihan kalau sampai terbebani. Toh kalau jodoh enggak kemana." Papaku rupanya mengerti soal tujuan pembicaraan ini. Untungnya dia bisa memberikan jawaban yang membuatku bisa bernapas lega.

Semoga aku jodohnya dengan Ananta ... Eh, tapi soal jodoh yang menentukan itu Tuhan. Kita cukup berusaha dan berdo'a.

🌆

Hampir jam sebelas malam. Tapi aku tidak bisa memejamkan mata karena banyak hal yang menganggu pikiran.

Aku teringat sesuatu. Stickynote dari loker Priya. Segera aku bangkit dari kasur dan menuju keranjang pakaian kotor. Semoga saja masih ada di saku.

Yash. Aku menemukannya.

Kalau kita mau berkorban untuk orang yang kita sayang. Pasti Tuhan akan memberikan kemudahan dalam melakukannya.

Saat aku membukanya hanya ada tulisan itu. Kok makin enggak jelas aja ya? Apalagi ini tulisan milik Hara. Setahuku Hara malas berhubungan dengan quotes-quotes. Ribet katanya.

Malam semakin larut. Tapi semua kalimat hari ini membuat otakku bekerja keras untuk memahaminya. Oh, ayolah aku lelah. Tidak bisakah besok atau lusa semua ini terpikirkan lagi? Aku ingin istirahat ....

Tapi tunggu dulu. Aku belum menulis di buku untuk Ananta. Mungkin setelah ini aku akan bisa tidur nyenyak. Semoga saja.

🌆

Lagi lagi aku ketidurannn

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang