32. Mencintaimu

16 7 8
                                    

🌆

Bau kupasan jeruk menguar, membuatku tersadar dari lamunan. Hampir 5 bulan komitmen antara aku dan Ananta terlaksana. Kami memutuskan untuk tidak berpacaran, hanya komitmen.

Aku ingin bercerita sedikit, tentang hari di mana kebahagiaan bermula.

Pagi itu, anak kelas menggeroyok Ananta. Memaksanya untuk menyatakan perasaan. Tapi dia menggeleng, mengucapkan beberapa kata yang mampu memporakporandakan perasaanku.

"Aku tidak mau kita berakhir menjadi mantan, Na. Aku hanya ingin berkomitmen, karena dengan itu aku akan membuktikan perasaanku. Aku tidak mau hal manis yang kita bangun sejak awal hancur karena memaksakan status yang belum tentu berlanjut. Aku hanya ingin kita dengan jalan yang berbeda, jalan yang tidak akan membuat kita tidak pernah berakhir. Komitmen."

Sorakan mereka menggema, aku terharu. Semua ini tidak pernah terpetakan dalam otak kopongku. Rencana Ananta jauh lebih indah dari rencanaku sendiri.

Sejak itu, semua orang mengenal kami sebagai Arunanta. Di mana ada Aruna, di situ ada Ananta. Hampir setiap hari dia menjemput dan mengantarkanku pulang sekolah. Itu sudah lebih cukup.

Sederhananya, aku ingin mencintaimu seperti buku yang rela menampung segala tulisan. Aku akan mencintaimu tanpa menghakimi asal-muasalmu, Ta. Aku akan menjadi tempatmu pulang dan menerima sakit juga bahagia yang kau bagikan.

"Hei? Kok kamu ngelamun? Ini jeruknya udah aku kupasin."

Aku menoleh, menerima jeruk dari kupasan tangan Ananta, orang yang telah aku cintai dengan segenap hati.

"Makasih, Ta."

"Apapun untukmu, Honey."

Jeruk ini manis, tapi lebih manis Ananta yang tidak ada duanya. Ananta merapikan anak rambutku, seperti biasanya. Aku memandang cakrawala yang berwarna oranye. Lagi, lagi senja bersama Ananta.

Semburat senja menjadi favorit kami berdua. Kali ini gitar itu ikut serta bersamanya, gitar yang sudah beberapa kali ikut bersenandung mengisi relung melodi.

"Ta, kamu gak main gitar lagi?"

Ananta mengambil gitar yang ada di sebelahnya, "Deketan, sini," ujarnya pelan. Aku merapatkan tubuh dan semakin mendekatinya.

"Senderin bahu kamu, Na. Aku ingin menikmati senja dengan kamu yang bersandar dibahuku. Aku ingin kamu merasakan detakku meski lewat bahu."

Aku tersentuh, Ta. Kenapa ... Kenapa kamu selalu bisa membuat aku terharu seperti sekarang ini. Sebenarnya kamu insan yang tercipta dari apa? Kenapa kamu mampu membuat lisanku mati rasa.

Untuk menurutinya, aku menyandarkan bahuku. Ananta mengelus rambutku pelan sebelum memainkan gitar.

Dia mulai memetik gitar. Permainannya selalu memukau, tak pernah sekalipun mengecewakan.

"Love you every minute, every second.
Love you everywhere and any moment. Always and forever i know i can't quit you. Coz baby you're the one, i don't know how."

Dia tidak mengawali lagu itu dari awal, bahkan hanya menyanyikan sepenggal lirik saja. Tapi lirik yang menurutku artinya mengena.

Apa Ananta memang mencintaiku setiap menit, bahkan setiap detik?

Apa dia mencintaiku di manapun aku berada? Meski nanti kami sudah terpisah alam? Akankah ceritanya tetap sama?

"Kenapa kamu tidak menyanyikan semua liriknya, Ta?"

Ananta tersenyum kecil, malah menunjuk dua burung yang menggepakkan sayapnya seirama, "Dua burung itu, mereka tidak ingin memiliki seisi dunia, Aruna. Hanya butuh tempat kecil untuk selalu bersama, itu sudah cukup."

Aku tertusuk dengan perkataannya. Ananta memangku gitarnya kembali, "Kamu mau nyanyi yang bagian setelah tadi? Kalau mau aku bisa menggiringinya."

"Boleh?" tanyaku untuk memastikan saja.

"Sangat boleh. Asalkan kamu tetap bersandar padaku."

Aku akan selalu bersandar padamu, Ta. Karena di sinilah aku menemukanmu, sebagai tempat yang di mana orang lain tidak memberikannya. Kamu rumahku, Ta. Begitupun sebaliknya.

"Love you til the last of snow disappears.
Love you til a rainy day becomes clear.
Never knew a love like this, now i can't let go.
I'm in love with you, and now you know."

Aku akan mencintaimu seperti salju di kutub selatan yang tak akan mencair. Meski akan ada masanya untuk mencair, tapi pasti nanti saat dunia sudah berakhir.

Di sisu lain, aku juga mencintaimu seperti hari yang menunggu tibanya hujan. Tidak perduli berapa lamanya waktu berlalu tanpa kehadiranmu, aku akan selalu menunggu.

Aku sudah terlanjur mencintaimu, Ta. Aku tidak bisa melepaskan perasaan ini sampai kapanpun. Harapku untuk akhir kisah kita adalah ajal, bukan yang lainnya.

Kamu juga tahu kan tentang perasaan yang dinamakan cinta ini? Kamu mengetahuinya dan aku kalah telak. Tapi aku bahagia karena kekalahan ini. Karena semakin kamu tahu, balasan itu pasti lebih besar dari ekspetasiku.

"Suaramu indah, Na. Aku bersyukur suara itu diciptakan hanya untuk kudengar seorang diri. Orang lain pasti iri denganku, iri karena tidak bisa memilikimu."

Aku lebih bersyukur, aku telah dipertemukan dengan orang yang menghargai setiap pemberian Tuhan. Dia yang selalu menganggap semua manusia itu sempurna.

"Aku juga bersyukur, Ta."

"Besyukur untuk apa?"

"Kamu."

Kamu yang selalu aku semogakan dalam do'a yang mengalir tanpa hambatan. Kamu yang selalu didambakan banyak orang. Kamu, Ananta.

🌆

Kok👉👈

Gimana menurut kalian?

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang