27. Punten Gopud

14 7 1
                                    

🌆

Pakaian yang dikenakan papa dan mama malam hari ini membuatku heran sendiri. Kenapa mereka memakai baju couple seperti ini?

Mama yang melihatku memakai celana jeans selutut dengan kaos oblong membuatnya membulatkan mata. Dia berdiri dan mulai berceramah, "Hei? Kenapa kamu pake baju ini? Kan tadi mama udah naruh baju di lemari kamu. Kok enggak dipakai sih?"

Hah, baju di lemari? Bahkan sejak tadi aku saja tidak membuka lemari sama sekali. Celana jeans juga kaos oblong ini aku dapatkan dari ruang setrikaan. Jadi salah siapa, aku atau mama?

"Balik ganti baju sana. Nanti kamu malu sendiri loh!"

Aku menggeleng. "Males Ma ... Udahlah, ini tamu Papa, bukan tamuku. Enggak perlu dandan cantik kan ...."

Mama menggeretku meninggalkan ruang tamu. Dia mengeluarkan baju sama dengan yang dikenakannya sekarang, tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Aku memutar bola mata malas.

"Ma ... Aruna enggak suka pakai baju kaya gini. Ish."

"Enggak ada penolakan. Ayo cepat dipakai. Keburu datang tamunya."

Aku segera masuk ke dalam kamar mandi dan mengganti baju dengan pilihan mama. Apa aku kelihatan cantik dengan baju ini? Sepertinya tidak ada anggun-anggunnya jika aku yang memakainya.

"SUDAH, BELUM?" teriak mama dari kamarku. Aku berdecak kesal. Ini mama niat banget sih. Memangnya tamu kehormatan macam apa yang membuat aku juga harus ikut ribet seperti ini?

Apa presiden yang akan ke sini? Atau jangan-jangan, ANANTA?!

Halu terus sampai mampus. Eh, tapi apa iya ya? Tadi siang kan papa ngomongin soal Ananta. Apa kami akan ditunangkan seperti cerita wattpad? Setelah pulang sekolah fighting baju berdua. Pas mau diantar pulang ceweknya nolak, cowoknya ngomong, "Enggak ada penolakan."

Indahnya berhalusinasi.

Tok ... Tok ... Tok ...

Ini bukan ketukan pintu pada umumnya. Tapi sudah masuk kategori gedoran, seolah aku yang ada di dalam sini sedang berhutang ratusan juta dan mama adalah rentenirnya.

"Sabar Ma ... Ya ampun, pintu Aruna nangis tuh!"

"Ah masa iya? Cup ... Cup ... Cup ...."

"Lah Ma, ngapain?" tanyaku dari dalam kamar mandi. Takutnya jika membuka pintu mama akan terjerembab ke dalam sini. Yang ada malah marah-marah nyonya besar satu ini.

"Kata kamu pintunya nangis. Gimana sih Run." Aku menepuk jidat karena mamaku yang sedikit gesrek. Maafkan anakmu yang cantik ini, Ma.

🌆

Aku mengusap peluh yang mendadak mengalir deras. Sudah dua lembar tisu yang aku gunakan sejak lima belas menit tadi. Apalagi ingin mengambil jeruk di meja selalu saja tanganku ditahan oleh mama.

Katanya begini.

"Di kulkas banyak, tapi enggak di makan. Giliran disajiin buat tamu, malah dicomot aja."

Alhasil aku hanya duduk diam, meratapi nasib. Saat itu suara bel membuat papa seketika berdiri dan membuka pintu.

"Punten gopud."

Anzai. Aku kira tamu papa yang datang, tapi malah pengantar makanan. Papa yang mengulurkan uang segera mendapatkan penolakan dari sang pengantar.

"Tidak usah, Pak. Saya sudah mendapatkan bayaran. Silahkan diterima orderannya." Papa mengambil makanan yang ada di tangan pengantar itu.

"Terima kasih ya."

"Sama-sama Bapak. Saya dari gopud izin undur diri. Terima kasih, selamat malam."

Papa menutup kembali pintu tersebut setelah pengantar makanan itu meninggalkan pekarangan rumah kami.

"Kamu order makanan, Run. Kok enggak ngomong sama papa?"

Aku menggeleng tegas. Bahkan handphoneku saja tertinggal di kamar karena mama yang membuatku tergesa.

"Haduh, Pa. Jangan banyak tanya. Itu coba dibuka, isinya apa?"

Mama jadi rempong sendiri. Lah, kalau bukan mama atau papa yang order, lalu siapa? Enggak mungkin bi Darmi. Dia aja kadang suka bingung bedain telepon biasa sama telepon via WhatsApp kok.

"Kalau misal ini isinya bom gimana, Ma?"

Mama menoleh kepadaku. "Suruh Aruna buang ke belakang rumah." Aku menggeleng tegas dan berkomentar, "Kok jadi Runa sih, Ma. Mama sendiri dong yang seharusnya buang."

Tanpa memperdulikan perdebatanku dengan Mama. Papa membuka kotak tersebut dan menemukan dua martabak. Seperti deja vu.

Ananta. Dalang di balik semua ini pasti dia. Hanya dia yang punya ciri khas dua martabak. Satu martabak manis dan satu lagi martabak telur.

"Pa coba cek itu martabak apa?"

"Telur sama manis."

Tepat sekali. Pasti ini Ananta yang mengirimkannya.

Suara bel rumah membuat mama berdiri. Dia membuka pintu.

"Silahkan masuk."

Waduh. Tamu papa sudah datang. Dua orang. Satu laki-laki, satunya lagi perempuan. Terus ... Kenapa aku yang harus repot-repot berdandan juga? Astaga.

"Silahkan duduk, Pak, Buk." Papa menyingkirkan martabak yang ada dipangkuannya ke meja belakang kursi.

Aku tersenyum, bingung ingin memulai semua ini dari mana. Tapi untungnya tante di sebelah papa itu mengerti.

"Ini anak kamu? Cantik banget sih."

Aku tersenyum kikuk. "Aruna, Tante."

"Jangan panggil tante, mama saja. Ah, iya. Nama lengkap kamu siapa?"

"Aruna Citra Utari."

Itu bukan aku yang menjawab. Bukan mama ataupun papa. Tapi seseorang yang berada di daun pintu dengan setangkai mawar merah di tangannya.

Kenapa kemungkinan-kemungkinan seperti ini membuatku bingung sendiri?

🌆

Saran?

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang