9. Plester Panda

51 20 17
                                    

🌆

Aku memandang raut wajah Hara yang cukup kesal. Perlahan kekesalan itu memudar dan terganti dengan senyuman.

"Aku aja yang pindah Run."

Aku ikut tersenyum, lega dengan keputusan Hara yang mau mengalah. "Maaf ya, Hara."

"Santai aja Runa. Ya udah, Hara pindah dulu ya." Dia berdiri dan membawa tasnya. Sedangkan Ananta sendiri mengisi kursi yang diduduki oleh Hara tadi.

Aku memalingkan pandangan dari Ananta. Semoga dia sadar jika berubahku hanya untuk kebaikannya semata.

"Aruna, kamu kenapa?"

Cukup Ananta. Jangan bertanya lebih lanjut. Itu sama saja membunuh rencanaku untuk tidak memperdulikanmu. Karena setiap kata yang terucap dari bibirmu itu seperti magi untukku. Menyihir, membuat semuanya menjadi lebih indah dan ah, aku tidak bisa menjelaskannya lebih jauh lagi.

"Aruna ... Jawab pertanyaan Ananta, jangan diam seperti ini. Karena diammu itu menyiksaku, Na."

Apa kalimat itu memang benar nyatanya Ananta? Atau itu hanya sebagian dari kata yang hanya manis di mulut saja? Pikiranku kini semakin liar, memberontak dan keluar dari jalur semestinya.

Tunggu. Na. Sejak kapan kamu memanggilku dengan Na saja? Bukankah biasanya kamu menyebut namaku seperti kebanyakan orang menyebutnya dengan Aruna.

Ananta jangan membuatku merasa terlalu spesial seperti ini. Aku takut jika panggilan yang spesial itu ternyata biasa saja untukmu.

"Aruna ...."

Aku menghembuskan napas kasar.

"Ada apa Ananta?"

Dia tersenyum lebar. "Jangan marah sama Ananta ya, Na?"

Na lagi.

"Aruna enggak pernah marah sama Ananta. Aruna cuma kesel aja, kenapa sih Ananta suka banget baku hantam?"

"Bukan gitu, Na. Ananta enggak suka baku hantam. Kalo bener-bener butuh aja baru baku hantam. Contohnya kaya tadi, masa Ananta enggak dibolehin satu bis sama Aruna. Mereka egois banget kan?"

Kamu juga egois Ta. Semakin sering kamu memanggilku dengann panggilan khusus semakin membuat hatiku sesak karenanya. Iya, sesak karena terlalu bahagia.

Aku meneliti wajah Ananta yang sepertinya berbeda. Ada sedikit sobekan ditepian bibir. Pasti rasanya sakit sekali jika terkena air.

"Ini kenapa?" tanyaku sambil meraba tepian bibirnya pelan. Jangan sampai luka ini semakin parah karena sentuhanku.

"Enggak papa-papa, Na." Dia tersenyum seolah dunia adalah surga senyuman. Tapi memang benar. Senyuman Ananta akan selalu menjadi surga tersendiri untukku.

"Maaf ya, aku udah bikin kamu khawatir," sesalnya pelan.

Tidak apa-apa. Selagi kamu tidak mengulanginya, Ta. Tidak adil jika aku tidak memberikan panggilan khusus untuknya juga.

Dia menyengir saat melihat eskpresiku. Aku sendiri tidak tahu sedang berekspresi seperti apa.

"Kamu khawatir, Na?"

Aku mengangguk pelan. Untuk apa kita harus membohongi perasaan sendiri? Berpura-pura baik padahal kenyataannya tidak. Selagi rasa masih bisa membuatnya mengerti, kenapa tidak mengatakannya. Iya kan?

"Ini bisnya jalan sepuluh menit lagi kan? Kalo gitu aku mau ambil betadine di UKS dulu ya, kamu jangan kemana-mana."

Aku berdiri. Masih ada waktu untuk mengambilkan Ananta betadine. Takutnya jika ditunda lukanya akan semakin parah.

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang