21. Ananta Pagi Ini

24 9 14
                                    

🌆

Tak seperti biasanya, kali ini aku sarapan lebih cepat. Takutnya Ananta akan menunggu kelamaan, jadinya aku berinisiatif untuk melakukan kegiatan apapun lebih cepat dari jadwal normalnya. Eh kok jadi ribet ya, kaya kisah cinta kamu sama dia. Ehek.

Tentunya gerak-gerik yang aku lakukan mengundang pertanyaan tersendiri untuk Priya dan kak Rania. Sedangkan Hara sudah mengetahui chattinganku dengan Ananta melalui pengelihatannya sendiri.

"Run, perasaan hari ini enggak selemot biasanya deh?"

Aku hanya cengengesan sendiri dengan pertanyaan dari Priya. Tunggu, sebentar lagi kak Rania pasti akan bertanya juga.

"Hmm, ada kejadian apa tadi pas Aruna sama kamu Hara?" Kak Rania menatap Hara dengan tatapan menginterogasi. Hara meletakkan sendok dan garpunya, menaruh kedua tangan di atas meja makan.

"Hmm, jadi begini. Aruna mau dijemput sama pangeran berkuda merah, Ananta. Karena takut Ananta kelamaan nunggu, jadi dia melakukan kegiatan lebih cepat dari biasanya. Jadi begitu. Sekian curhatan hati dari saya yang sedang dilanda iri hati karena sahabat sendiri yang uwu bersama doi." Hara memegang kembali sendok dan garpunya. Kembali melahap masakan kak Rania bersama tante Alfi.

"Salah sendiri jomblo. Jadi iri kan. Eh, Run. Ananta emang beneran mau jemput kamu?" tanya Priya dengan sedikit memajukan dirinya. Kak Rania sendiri memandangi aku dan Priya bergantian.

"Iya hehehe. Enggak papa kan?"

"Enggak papa lah. Iya kan, Kak Ran? Har?" Priya menyelesaikan sarapannya setelah aku. Hara masih sibuk dengan pikirannya sendiri, tapi dia menoleh dan mengangguk untuk menanggapi Priya.

"Iya enggak papa. Asalkan Aruna hati-hati ya." Kak Rania telah selesai setelah Priya, tinggal Hara dan kak Altas yang belum selesai.

"Iya Kak. Om, Tante, Aruna boleh izin meninggalkan meja makan duluan? Takutnya yang jemput Aruna sudah di luar."

"Iya sayang, gak papa." Tante Alfi sudah memberikan izinnya. Tinggal om Pradana yang membuatku bimbang.

"Hmm. Om enggak bisa Run."

Harapanku untuk keluar duluan sudah pupus. Om Pradana bahkan tak memberikan alasan kenapa tidak mengizinkan aku meninggalkan meja makan.

"Enggak bisa nolak maksudnya," lanjutnya. Mereka cekikikan melihat ekspresi ketakutan juga kecewaku.

Aku berpamitan pada kedua orang tua Priya. "Assalamualaikum, Aruna duluan ya."

"Waalaikumsalam," kompak mereka berbarengan.

Seusai memakai sepatu. Aku celingukan sendiri di luar pagar rumah Priya.

"Cie yang lagi nungguin." Ananta dengan motor merahnya membuatku terpesona. Benar-benar pangeran berkuda merah sesuai impiannya.

"Ah, iya. Selamat pagi, Na. Semoga kamu merasa bahagia pagi ini."

Bahagia? Tentu saja, Ta. Seluruh dunia juga tahu jika aku sedang sangat bahagia. Tentu saja itu karena kamu. Kamu alasannya.

🌆

Dalam perjalanan wajahku memanas karena Ananta yang sering menatap dari spion. Apalagi rambutku yang tidak sempurna masuk kedalam helm beterbangan tak tahu aturan.

"Apasih Ta. Jangan lihatin Aruna kaya gitu deh."

Ananta sedikit memundurkan badannya. Mungkin agar kami bisa berkomunikasi dengan mudah. "Kamu salting sama saya, Na?"

Lagi. Lagi. Pipiku seperti terkena setlika panas. Rasanya terlalu panas karena Ananta yang lebih menghangatkan dari matahari pagi ini.

"Ih enggak."

"Ish, jangan malu-malu."

Aku memutar otak. Mencoba mendinginkan suasana, sepertinya itu alasan yang klasik. Alasan utamanya adalah pipiku sendiri. Kan enggak lucu kalau sampai di sekolah dengan pipi begini.

"Hng, kamu sudah sarapan Ta?"

Sarapan. Topik yang entah kenapa baru terlintas di otakku. "Belum. Nanti kamu temenin aku makan ya."

"Ha? Maksudnya?" tanyaku memperjelas ucapan yang sudah mirip perintah darinya.

"Nanti temenin aku sarapan di kantin ya? Kamu mau lihat aku pingsan di kelas?"

"Alay," cibirku sambil memukul pelan lengannya. Dia mengaduh dan menjawab, "Gak papa alay. Yang penting alaynya cuma sama kamu aja."

Sialan. Pinter banget sih ngegombalnya. Sepertinya dia cocok masuk di S3 jurusan menggombal. Sejauh ini tidak ada yang bisa menandingi gombalannya. Entah untuk nantinya.

"Ta jangan ngegombal terus deh!"

"Ah gak papa ngegombal, yang penting enggak ke semua orang. Aku cuma gombalnya ke kamu aja, Na. Enggak ada dan enggak akan pernah ada yang bisa mengubah kenyataan itu," finalnya membuatku bungkam.

Tinggal beberapa meter. Gerbang SMA Deukalion sudah terlihat. Menjulang tinggi seolah angkuh, menunjukkan bahwa akulah yang sekarang tertinggi di sini.

Ananta memasukkan motor besarnya melewati gerbang, membuat banyak pasang menatapnya juga aku yang sedang ada diboncengannya. Dia masuk ke dalam parkiran sekolah, mencari tempat parkir yang kiranya mudah untuk nanti saat pulang.

Sekilas, aku melihat kak Arjuna. Sendirian. Menatapku dengan pandangan yang tidak terpetakan. Segera meninggalkan parkiran saat Ananta melepaskan helmnya.

"Hei, kenapa Na?" Aku menoleh. Fokusku terpecah.

"Ah, enggak. Kamu jadi sarapan?" tanyaku mengalihkan perhatiannya. Untungnya kak Arjuna sudah tidak terlihat, jadi Ananta tidak akan curiga.

"Jadi, ayo." Tiba-tiba dia mengaitkan jemarinya dengan jemariku. Ini terlalu pagi, Ta. Kamu selalu saja membuatku kehilangan banyak kata.

Ananta memilih makan di kantin bawah, tempat yang sering digunakan oleh kakak kelas. Dia terlalu berani ... Apakah aku akan kuat jika terus-terusan bersamanya?

Tangannya melambai. Beberapa gerombolan kakak kelas balik melambai juga padanya. Aku menelan saliva takut-takut. "Ta, Aruna takut."

"Ada aku, Na. Enggak perlu takut."

Disegerombolan itu, aku melihat kak Arjuna, kak Guntur, kak Awan, juga beberapa orang yang tidak aku kenal. Untungnya tidak ada Bima.

Jadi, kak Arjuna dan Ananta saling mengenal? Kenyataan apalagi setelah ini, Tuhan?

🌆

Malemm beutt

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang