10. Otak Chandra Diservis

53 17 32
                                    

Yang mau mengkrisar silahkan🤗

🌆

"ARUNANTA!! BANGUN!!"

Suara siapa yang sekeras toa itu. Arghh, telingaku berdenging karenanya. Sungguh tak beradab.

"Chandra! Bisa santai enggak sih banguninnya. Telingaku jadi sakit tau!"

Aku mencebikkan bibir. Ananta yang juga terganggu dengan suara Chandra malah melempar tasnya yang terlihat berat. Tepat, tas itu membuat Chandra jatuh terduduk.

"Mampus," umpatnya pelan.

"Karena Chandra udah buat telinga Aruna sakit. Jadi, bawain tasnya Aruna sekalian tasku juga. Oke."

Chandra berdiri dengan bantuan Hara. Dia mengaduh kesakitan karena pantatnya telah berciuman dengan lantai bis.

"Sumpah. Ananta jadi bucin banget. Masa tas gini harus Chandra yang bawa? Ini berat semuanya ya ampun."

Ananta merangkulkan tangannya pada leherku. "Jangan banyak bicara atau ...."

"Iya, Nan. Iya," jawabnya pasrah. Chandra, Chandra. Ada-ada saja kamu ini. Seandainya tidak membuat gaduh pasti ini tidak akan terjadi kepadamu kan.

"Hara. Bantuin bawa tasnya Aruna dong. Chandra enggak bisa bawa tiga tas sekaligus kaya gini."

"Ih bukan urusan Hara lah! Ntar balik ke bis lagi kan bisa."

"Anjir, biadab!"

Aku dan Ananta tertawa meninggalkan mereka berdua. Ngomong-ngomong kalian berdua terlihat serasi. Tapi sayangnya Chandra sudah punya doi. Hara, yang sabar ya jadi jomblo sejati.

Priya dan kak Rania sudah ada diluar bis. Menunggu kami mungkin. Iya kami, aku dan Hara.

"Hara dimana?" Priya yang melihatku dirangkul Ananta bersikap biasa saja. Beda dengan kak Rania yang sepertinya ingin menanyakan banyak hal.

"Itu." Aku menunjuk Hara yang membawa dua tas. Loh, bukannya tadi dia tidak mau membantu Chandra ya? Kok sekarang dia malah membawakan tasku.

"Makasih, Hara. Jadi ngerepotin deh Aruna." Aku menerima tas yang diberikan olehnya. Seharusnya aku tidak mempercayakan Chandra untuk membawa tasku. Kasihan Hara yang harus membawanya turun kesini. Dasar Chandra.

"Enggak papa, Run."

"Ayo kita ke kamar. Ananta, lepasin Aruna napa! Kasian tuh mukannya udah kaya kucing kecekik." Priya menertawakanku dan Ananta yang sedari tadi juga tidak memikirkan sekitar. Maaf.

"Ish sirik terus. Ya udah, Na. Sampai jumpa kembali." Dia melepaskan rangkulannya. Aku tersenyum kikuk, mengikuti ketiga sahabatku.

"Cie Aruna. Sekarang udah berani ya kaya gitu di depan umum."

Ucapan kak Rania yang ringan tapi menusuk mulai meluncur sejak pintu kamar ditutup oleh Hara.

"Maaf Kak."

"Aruna. Jangan takut mengatakan tidak jika kamu merasa risih. Selain menghargai orang lain, kamu juga harus menghargai diri sendiri."

"Iya Kak maaf."

Kak Rania memelukku. Hara dan Priya pasti sebentar lagi akan ikut berpelukan.

"Aku udah anggap kamu sebagai adik, Run. Itu sebabnya aku selalu ingin yang terbaik untukmu."

"Ah jadi melting." Priya dan Hara ikut berpelukan. Kami berempat berpelukan bersama. Terima kasih kalian. Aku sayang kalian bertiga.

"WOI ANJIRR. KALIAN NGAPAIN!" teriak Chandra yang masuk ke dalam kamar kami tiba-tiba.

"Aaaaaaaaa." Kami berempat berteriak. Kaget.

"Jangan teriak-teriak elah. Aku juga mau ikutan pelukan."

"Jijik banget Chan. Sumpah."

Priya melemparkan bantal yang kebetulan ada di belakangnya.

"Ngapain ke sini sih? Ini kamar perempuan!"

"Loh tapi."

Ananta masuk dan menarik Chandra keluar bersamanya. Sebelum itu dia melongokkan kepalanya.

"Mohon maaf. Otaknya Chandra lagi di servis. Makanya jadi gak jelas kaya gini."

Kami berempat tertawa. Ada-ada saja.

🌆

Kami berangkat dari sekolah sekitar jam empat sore. Perjalanan ke sini membutuhkan waktu kurang lebih dua jam. Tapi aku tidak tahu pastinya. Karena aku sendiri tidur, tidak menghitung waktu perjalanan.

Oke. Lupakan perjalanan kami. Sekarang sudah jam tujuh lebih lima belas menit. Selesai salat magrib dan isya' berjamaah dengan kak Awan sebagai imamnya membuat siswi baru klepek-klepek.

Priya salah satunya. Sekembalinya dari sana. Dia berjingkrak-jingkrak seperti orang yang tidak penuh. Sungguh, bukan niatku untuk menghinamu Priya.

"Kak Ran. Rumah sakit jiwa di sini di mana ya? Kasihan tuh Priya." Hara menunjuk Priya dengan dagunya. Aku ikut bergabung bersama Hara dan kak Rania seusai menyisir rambut.

"Woy Hara! Ngajak ribut?"

Priya menghampiri Hara dan mereka berlari-larian seperti biasanya. Tidak di rumah Hara, tidak di sini. Mereka selalu saja seperti anak kecil.

"Aruna habis nyisir rambut?" Kak Rania membelai rambut sepunggungku. Aku mengangguk mengiyakan dia.

"Lain kali jangan dilakuin ya. Enggak baik menyisir rambut malam-malam."

Aku memegang tangan kak Rania. "Kakak percaya bakal ada mbak kunti kalo nyisir rambut malam-malam?"

Kak Rania menggeleng. " Enggak, Run. Pada malam hari, tubuh sudah berhenti memproduksi dan mendistribusikan minyak rambut. Jadi, rambut pun cepat rontok karena kering. Sayang banget kalo rambut kamu rontok karena sering sisiran pas malam."

Aku kira kak Rania akan percaya dengan pantangan yang tidak boleh dilakukan itu.

"Sebentar lagi kita keluar ya. Daripada telat, nanti dimarahi kakak osis."

"Iya kak."

Kami berdua menatap Hara dan Priya yang masih asyik berkejaran. Mereka terlihat bahagia sekali. Aku sebenarnya ingin bergabung bersama mereka. Tapi rasa mager sudah datang menyergap. Ya sudahlah, lebih baik memperhatikan mereka saja bersama kak Rania.

"Ayo keluar." Hara menarik aku yang masih duduk santai.

"Mager, Haraaa," keluhku padanya. Kak Rania sudah berdiri.

"Ayo, Aruna. Kamu mau dimarahi sama kak Bima lagi?"

Ish. Bima. Daripada harus berurusan dengannya. Lebih baik aku melawan rasa malasku ini.

"Ya udah ayo."

"Eh tunggu sebentar." Mimik wajah Priya terlihat serius.

Sebenarnya ada apa?

🌆

Potonyaaa Arunaaa:))

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Potonyaaa Arunaaa:))

Sebelas duabelas sama authornya kan? Huek🤧 mon maap tukang halu lagi halu setinggi-tingginya🙄

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang