🌆
Karena acara makrab dilakukan di Puncak, Bogor. Sekolah sepakat untuk menyewa bis. Daripada siswanya berangkat sendiri-sendiri menggunakan kendaraan pribadi. Itu terlalu membahayakan bukan?
Jam tiga sore. Mama Hara menyempatkan waktunya untuk mengantarkan kami ke sekolah. Seandainya mama Aruna memberikan sedikit waktunya seperti tante Ami. Ah sudahlah.
"Aruna. Ayo turun, kita udah sampai di sekolah. Kamu emangnya mau ngelamun terus?" Nada lembut dari teguran kak Rania membuatku refleks menoleh. Apa sedari tadi aku memang melamun?
"Eh, iya Kak."
Aku segera turun dan berpamitan kepada tante Ami. Priya dan kak Rania juga demikian. Memiliki empat ibu selalu membahagiakan. Meskipun tiga lainnya bukan ibu kandung.
"Ayo kita cari kak Rinai." Hara memberikan selebaran yang ada di tangannya ke tanganku. Begitupula dengan Priya dan kak Rania.
Kami berniat untuk mengumpulkan selebaran izin makrab di Kak Rinai. Tentu saja karena dia ramah dan baik hati. Jangan coba-coba merayuku untuk mengumpulkan selebaran ini di Bima, atau kalian akan mendapatkan tampolan gratis dariku.
"Hei! Kalian mau ke mana?"
Kak Arjuna. Beberapa kali aku mendengar suaranya dan kini rasanya sudah tidak asing lagi di telinga.
"Mau ngumpulin ini kak!" Aku mengangkat selebaran kami berempat tinggi-tinggi.
"Ngumpulin di kakak juga bisa kok."
Priya mendorong tubuhku agar semakin dekat dengan kak Arjuna. Tatapan matanya, kenapa bisa begini? Aku tidak menyuruh kalian untuk percaya, tapi tatapan mata ini benar-benar membuatku jatuh di dalamnya.
"Ekhem. Yang di depan itu lebih ganteng daripada aku ya, Aruna?"
Aku menoleh dan mendapati Ananta sudah ada di belakangku. Dengan teman-teman segolongannya pasti.
"Eh." Aku mensejajarkan diri dengan Ananta.
"Idih pede banget sih!" Hara menganggapi pertanyaan Ananta dengan sewot.
"Iri bilang bos!"
Ananta, Ananta. Sebenarnya kamu cemburu atau bagaimana? Atau hanya ingin memastikan bahwa aku ini mudah jatuh dalam pesona kak Arjuna? Tenang saja, Ta. Pesona itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pesonamu yang membuat pikiranku bancuh.
Terkadang hanya mendengar namamu saja membuat hatiku berdesir seolah ada ombak besar yang siap menghantam. Menenggelamkanku dalam laut ketidakpastian.
"Aruna. Sini selebarannya. Biar aku saja yang mengumpulkan."
Aku memberikan selebaran kertas milik kami berempat. Ananta maju mengisi posisiku tadi. Dia mengucapkan beberapa kata yang membuatku terdiam. Entah ini telingaku yang salah mendengar atau dia memang mengatakan kalimat itu betulan.
"Aruna itu hanya ada satu. Arunanya Ananta. Enggak ada Arunanya Arjuna. Ini selebarannya."
Selesai kalimat itu terucap. Ananta mengandeng tanganku pergi dari sana. Apa kak Arjuna merasa diremehkan dengan kalimat Ananta? Maaf kak, aku tidak pernah berencana untuk mempermalukan kakak di depan semua orang seperti ini.
🌆
"Run, Run! Ananta!"
Aku yang sudah duduk harus berdiri lagi saat mendapati Priya dengan ekspresi paniknya. Ananta ... Apalagi yang terjadi?
"Ananta kenapa? Priya, jawab ...." Aku mengoyahkan kedua bahu Priya. Kenapa dia tidak mengatakan semua hal yang terjadi pada Ananta, selalu saja membuatku harus penasaran terlebih dulu.
"Ananta seharusnya kan enggak satu bis sama kita. Nah dia marah tuh ke kakak osis dan ngajak baku hantam."
Astaga. Apa lagi ini.
"Terus Aruna harus gimana?" Aku panik sendiri karenanya. Ada saja kelakuan Ananta yang membuatku khawatir.
"Pura-pura enggak tahu aja Run. Kalo nanti misalnya dia memang satu bis sama kita. Kamu diemin aja biar dia ngerti."
Usulan Priya memang masuk akal. Oke, sekarang dirinya harus menenangkan diri dan mulai mempraktekkan ekspresi datar agar nantinya semakin mudah.
"Run, ekpresinya datar banget deh?"
Aku mengembuskan nafas kesal. "Kata Priya harus diem, artinya ekspresi harus datar juga dong. Gimana sih?"
Priya menepuk jidatnya. "Ke Ananta Arunaaa. Bukan ke Priya, aish gimana sih!"
"Hehehe. Biar nanti enggak ngakak aja kalo tiba-tiba berekspresi datar."
Ah perkataan Aruna jadi berbelit. Sudahlah, tinggal menunggu Ananta datang dan aksi akan dimulai.
Lima belas menit berlalu. Belum ada tanda jika Ananta memang akan satu bis dengan kami. Hara yang duduk di dekat jendela sesekali memegang bahuku, meyakinkan.
"Runa takut, Hara ...."
"Enggak ada yang perlu ditakutkan Runa. Sabar ya ...," tuturnya pelan.
Kenapa semua hal ini rasanya terlalu cepat ya? Kalian sadar atau tidak?
"Aruna. Ananta masuk dari pintu depan," bisik Priya yang duduk dibelakangku. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa mengerti kedatangan Ananta. Entah dia memang punya alarm tersendiri atau Priya yang terlalu mengamati.
"Aruna, aku boleh duduk bareng kamu?"
Ananta mulai membuka percakapan. Aku berusaha untuk tidak perduli dengan pertanyaannya. Bahkan menatap matanya saja tidak kulakukan.
"Aruna duduk sama Hara. Ananta lebih baik cari tempat duduk lain aja ya," pinta Hara yang sepertinya mengerti jika aku memang sedang tidak ingin berbicara dengannya.
"Hara pindah. Ananta yang seharusnya duduk sama Aruna."
"Enggak bisa lah! Kan Hara duluan yang duduk di sini. Ananta cari kursi lain aja kan bisa!"
Aku menutup telinga rapat-rapat. Ananta maaf, bukan maksud untuk tidak perduli denganmu. Tapi aku tidak mau melihatmu berulah hanya karena seseorang yang tidak jelas sepertiku.
"Aruna, aku boleh duduk di sini kan?"
Aku memalingkan wajah. Cukup Ananta. Pesonamu semakin membuatku gila.
"Aruna ...."
Aku menoleh padanya. "Ananta duduk bareng Hara aja ya, biar Aruna yang pergi."
Ananta malah mengerutkan keningnya. Aku tidak tahu apa yang ada difikirannya. Entah dia kecewa, atau bahagia. Maaf, aku memang bukan orang yang pandai membaca eskpresi wajah.
"Aku maunya duduk bareng kamu, Aruna. Bukan dia." Ananta menunjuk Hara.
Sekarang apa yang harus aku lakukan? Mementingkan Hara, sahabatku sendiri sejak kecil atau Ananta, orang baru yang sudah mampu mengobrak-abrik hatiku?
🌆
WOY GES? INI GAJE GA SIH?
KAMU SEDANG MEMBACA
Manuskrip Jeda [Selesai]
Fiksi Remaja"Kamu tahu alasan kenapa malam ada setelah senja?" Pertanyaan tiba-tiba dari Ananta itu membuatku menoleh. "Karena malam gelap, Ta. Sedangkan senja adalah akhir dari matahari yang akan kembali ke peraduannya. Jadi bener dong kalo senja dulu baru mal...