16

152 16 0
                                    

~ Vicky Pov ~

Hari ini aku berdiri di depan kostnya Arthur. Aku harus berjuang menanyai temannya di mana tempat tinggal Arthur. Hutang menraktirnya makan membuatku terus kepikiran. Selama ini aku tidak pernah berhutang pada siapapun.

Tok..tok..

Aku mengetuk pintu kamar kostnya pelan. Kamar kostnya ada di lantai dua. Jadi halaman seluas ini hanya dibangun khusus untuk kost-kost'san.

"Iya bentar..." sahut Arthur dari dalam kamarnya yang bertepatan dengan terbukanya kamar sebelah.

Aku sangat kaget dengan tindakan dua orang cowok yang baru keluar dari kamar itu. Yang satu telanjang dada dan hanya memakai celana pendek. Tiba-tiba saja mereka memberi kecupan pada bibir. Tampaknya mereka baru menyadari keberadaanku yang terus menatap mereka tanpa berkedip. Cowok yang memakai baju lengkap langsung melangkah pergi, sedangkan yang satunya kembali ke dalam kamar.

Uhh...

Tiba-tiba saja wajahku rasanya menghangat.

Klek...

Kali ini pintu kamar Arthur yang terbuka.

Di depanku kini berdiri Arthur yang baru saja selesai...mandi??

Dia juga bertelanjang dada dengan tubuh dan rambut yang basah karena air.

Wajahku kembali menghangat saat mengingat cowok bertelanjang dada yang ada di sebelah kamar Arthur tadi.

Apa mereka berdua gay?

Arthur nampak kaget juga melihatku. Aku memang ke sini tanpa memberitahunya lebih dulu.

"Aduh kok nggak bilang-bilang mau kesini? Tau kost ku dari mana? Dari Jo ya?" tanya nya sambil mempersilahkan aku masuk dengan gerakan tangannya.

"Iya dari Jo," sahutku.

Banyak baju yang berserakan di lantai. Jaket, celana panjang dan juga sepatu tidak pada tempatnya.

Dan apa ini?

Aku mengambil salah satu kain yang menyangkut di kakiku tapi dengan cepat Arthur menyambarnya.

"Hahaha... Maaf ini kotor. Belum di cuci," kata Arthur sambil menyembunyikan kain itu.

Sekarang dia sudah memakai kaosnya.

"Itu apa sih? Celana dalam?" tanyaku yang membuatnya melempar kain itu jauh-jauh.

Tadi aku belum memastikan kain itu apa. Tapi kalau melihat reaksinya seperti itu...

Aku mengendus sesuatu dan pandanganku berakhir pada beberapa tissu di atas meja. Ada laptop juga di sana.

Sekali lagi Arthur bergerak cepat. Dia langsung membereskan mejanya. Aku masih bisa melihat sekilas layar laptopnya yang menampilkan video yang di pause sebelum Arthur mematikan laptopnya. Dia nampak gugup di mataku.

"Kamu tau...ini hal biasa buat kita kan. Kalau kita nggak mengeluarkannya secara rutin itu bisa membuatmu sakit kepala. Nggak enak badan dan jantung berdebar-debar."

Untuk beberapa saat aku hanya diam mencerna apa yang di katakan Arthur. Tapi dari bau yang tercium tadi akhirnya aku paham.

Aku memang tidak bisa melihat situs porno secara terang-terangan. Karena setiap kali aku membukanya, aku merasakan tekanan hebat dari belakang punggungku. Seolah-olah aku tidak sendirian saat melihat situs porno itu. Dan itu membuatku takut. Akhirnya aku hanya bisa mengeluarkannya saat bermimpi atau kalau sudah tidak tertahankan aku memeluk guling erat-erat.

Aku memalingkan wajahku.

"Aku tau jadi kamu nggak perlu membahasnya secara detail," sahutku pelan.

"Ah.. Iya. Begitu ya... Maaf."

Entah kenapa suasananya sangat canggung. Dari tadi wajahku juga terus menghangat. Aku sampai memegang pipiku memastikan aku tidak terkena demam.

Mataku tiba-tiba menangkap sebuah gerakan di sudut meja.

Anak.kecil?

Tanpa sadar kakiku melangkah mendekatinya. Tidak ada apa-apa. Tapi rasanya tadi aku melihat anak kecil yang berjongkok di sini. Apa mungkin penghuni kamar ini? Atau aku cuma salah lihat?

Aku menatap Arthur yang juga menatapku.

Apa perlu aku memberitahunya?

...

...

...

"Ada apa di situ?" tanya Arthur dengan wajah yang serius.

Aku menelan ludah lalu menggeleng.

"Nggak. Nggak ada apa-apa," sahutku.

Aku nggak mungkin bilang padanya kalau di kamar ini ada penunggunya. Aku juga belum yakin apa yang aku lihat tadi benar-benar hantu atau bukan. Lagipula sangat memalukan saat dia tau kalau ada anak kecil yang melihatnya melakukan sesuatu...

Mataku melirik layar laptop yang sudah mati.

Sekali lagi wajahku menghangat.

Seharusnya aku mengabarinya lebih dulu sebelum kesini.

"Aku mau menraktirmu makan," kataku, "apa kamu bisa makan malam denganku?"

"Mau," sahut Arthur cepat.

Apa dia sudah sangat lapar?

Aku menarik bibirku.

Aku tersenyum.

Indigo ( TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang