18

153 17 2
                                    

~ Vicky Pov ~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~ Vicky Pov ~

Aku menggaruk tanganku kuat-kuat tapi tanda seperti tato yang muncul di lengan kiriku tak kunjung hilang. Saat ini aku sedang ada di toilet mall. Awalnya aku mengantar mamaku jalan-jalan. Saat aku buang air kecil, tiba-tiba muncul tanda seperti tato di lengan kiriku. Bayangan hitam ini tiba-tiba muncul begitu saja dan tidak bisa hilang. Aku sudah mengusapnya sampai menggaruknya. Tapi tetap saja tidak bisa hilang. Rasa perih sudah tidak aku pedulikan. Sampai tatapan aneh orang-orang yang masuk ke dalam toilet sudah tidak menggangguku lagi. Ada yang mencoba berbicara padaku tapi rasanya kata-katanya tidak terdengar di telingaku. Pusing, bingung dan takut. Cuma itu yang aku rasakan saat ini.

Saat aku masih sibuk menghilangkan tanda yang ada di tanganku, tiba-tiba aku merasakan cengkraman di pergelangan tanganku. Sontak aku melihat siapa yang memegangku. Hantu atau...

Terlihat cowok dengan rambut mencolok berwarna pink. Dia menatapku khawatir. Terlihat dari kedua matanya dan kerutan di keningnya.

Dia manusia.

Tanpa aba-aba dia menggandengku keluar dari toilet. Dan seperti biasa. Aku yang tidak pandai berkomunikasi hanya mengikuti orang asing itu pergi. Dia terus mencengkeram pergelangan tanganku. Dan anehnya...tanda di lenganku terlihat memudar lalu menghilang.

"Minumlah ini," kata cowok itu setelah kita menemukan tempat duduk di keramaian ini.

Aku menerima minuman berboba dengan canggung. Tanganku terlihat berdarah. Perih. Lenganku seperti habis di cakar kucing. Aku baru sadar kalau aku menggaruknya terlalu kencang.

"Tanda tadi bukan sesuatu yang buruk," aku langsung menatap cowok itu saat dia memulai percakapan.

"Darimana kamu tau..."

Dia menunjuk matanya.

"Aku juga bisa melihatnya."

Aku menelan ludah. Entah kenapa ada rasa haru yang aku rasakan.

"Sebentar...apa yang kamu lihat di tempat ini? Coba perhatikan baik-baik. Ada berapa makhluk halus di sini?" tanya cowok itu yang membuatku menelan ludah.

Aku melihat kesekitar dan tidak melihat apapun selain keramaian orang-orang. Lalu aku kembali mentapnya dan menggeleng.

Dia tersenyum.

"Kalau begitu tidak ada yang perlu di khawatirkan," katanya yang membuatku bingung, "di mataku. Aku melihat puluhan makhluk tak kasat mata di tempat ini."

"Apa???" aku kembali melihat kesekitar dan tetap tidak melihat apapun juga.

"Aku juga bisa melihat..." cowok itu menatap ke arahku tajam, "dua makhluk yang mengikutimu seperti anjing."

Bulu kudukku langsung meremang.

Di tempat seramai ini?

Aku langsung pindah duduk kesebelah cowok itu. Dan dia hanya terkekeh melihatku.

"Sebenarnya mereka siapa? Apa mereka jahat??"

"Aku tidak bisa menjamin mereka jahat atau baik. Tapi pikiran mereka terkadang tidak bisa di tebak," dia menenggak minumannya, "kita belum berkenalan. Aku Tio."

"Vicky."

"Vicky...." dia menatapku dengan pandangan yang tajam, "aku bisa menutup mata batinmu. Apa kamu mau?"

Apa? Menutup mata batin?

Aku...bisa bebas dari mereka? Selama ini aku merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Aku tidak mau melihat bayangan mereka ataupun suara mereka. Aku...

"Apa...bisa??"

Tio menggangguk.

"Aku bisa melakukannya. Soalnya aku melihatmu tidak bisa beradaptasi dengan mereka. Itu bisa membuatmu stres."

Aku menundukkan kepalaku sambil menelan ludah.

"Aku...bisa bebas dari mereka," desisku.

Mataku tertuju pada sebuah kalung seperti jimat yang disodorkan Tio.

"Pakai ini supaya mereka tidak mendekatimu," kata Tio.

"Apa yang ada di dalamnya?" tanyaku penasaran.

"Rahasia. Kalau aku beritahu, khasiatnya akan hilang."

Ah begitu...

Dengan ragu-ragu aku memakai kalung itu di leherku. Seketika itu juga badanku terasa ringan. Pegal-pegal di tubuhku sirna begitu saja. Aku langsung menatap Tio. Cowok itu sedang menatapku dengan tersenyum.

"Bagaimana?" tanya Tio.

"Tubuhku...ringan," sahutku.

"Itu karena mereka menjauh. Mereka tidak bisa mendekatimu lagi...lalu...coba pejamkan matamu."

"Sekarang? Di sini?? Aku harus membayarmu berapa??" tanyaku bertubi-tubi.

Apa bisa menutup mata batin di tempat seramai ini? Bagaimana dengan pandangan orang saat melihat kami?

Ah...tidak ada yang peduli rupanya. Mereka sibuk dengan percakapan mereka sendiri.

"Gratis," sahut Tio, "aku cuma mau membantumu saja."

Itu...apa baik-baik saja?

Aku ragu. Aku tidak tau ini keputusan yang benar atau tidak. Tapi setidaknya aku ingin mencobanya.

Lalu aku memejamkan kedua mataku. Aku merasakan tangan Tio memegang dahiku. Aku juga mendengar Tio seperti membaca mantra dengan pelan tapi itu sudah mampu membuat bulu kudukku berdiri. Aku merasakan angin menerpa tubuhku. Padahal ini di ruangan tertutup yang tidak mungkin ada angin masuk. Lalu aku merasakan jari-jari Tio menyapu kelopak mataku pelan.

"Nah...sekarang coba buka matamu," suara lembut Tio membuat hatiku kembali tenang.

Pertama kali yang aku lihat adalah senyuman Tio. Dia benar-benar anak yang murah senyum. Padahal dia sama sepertimu atau lebih parah dari aku. Dia ini benar-benar indigo. Tapi kenapa dia sangat....berbeda.

"Bagaimana?" tanyanya lagi membuyarkan lamunanku.

Aku buru-buru mengalihkan pandangaku darinya.

"Ah..iya..." wajahku menganghangat.

Memalukan. Aku terlalu lama menatapnya.

"Aku...merasa jauh lebih baik," sahutku pelan.

Perasaan was-was selama ini entah kenapa menghilang. Padahal aku masih belum yakin seratus persen bahwa penutupan mata batinku sungguh berhasil atau tidak.

"Kalau begitu aku pamit," kata Tio setelah menghabiskan minumannya.

"Eh...secepat ini?" tanyaku.

Rasanya sayang jika hanya bicara sebentar. Aku tidak pernah bertemu orang yang sepaham denganku.

"Iya. Aku harus pulang. Lagipula mama mu sedang mencarimu. Beliau kebingungan mencarimu di lantai satu."

Aku terdiam.

Tio sudah beranjak pergi.

Dia tau aku pergi bersama mama darimana?

Dan...

Apa kami bisa bertemu lagi?

...

...

Eh... Aku belum mengucapkan terima kasih.

Indigo ( TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang