24

159 17 0
                                    

~ Vicky Pov ~

"Amira..." desisku sambil memegang telinga kiriku.

Untuk sesaat tadi seperti ada seseorang yang membisikkan sesuatu. Seperti sebuah nama. Tapi ternyata tidak ada siapa-siapa di sini. Yang ada hanya aku dan Arthur. Ya memang ada orang lain tapi jarak mereka juga tidak terlalu dekat.

"Ada apa?" tanya Arthur.

Aku menggeleng pelan. Benar...tidak ada siapapun di sini. Mungkin aku salah dangar. Tapi suaranya seperti tidak asing. Apa aku pernah mendengarnya? Tapi di mana?

"Serius...ada apa? Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Arthur lagi.

Kali ini dia nampak cemas.

Saat ini kami sedang makan di luar. Makan sate ayam. Tadi dia tiba-tiba datang kerumah lalu mengajakku pergi untuk mencari makan.

"Nggak...nggak ada apa-apa," sahutku pelan sambil menyuapkan suapan pertamaku.

Ini enak.

Aku mencuri pandang ke Arthur yang masih menatapku cemas.

"Aku nggak apa-apa. Tenang aja," kataku.

Akhirnya dia menghela nafas.

"Aku jadi khawatir kalau kamu udah mulai serius dan mendadak bengong. Atau ngeliat sesuatu kayak lagi ngelamun," Arthur kembali fokus dengan makan yang ada disendoknya.

Aku hanya terdiam. Beberapa kali memang aku bertingkat seperti itu. Mungkin sudah terbiasa waspada. Tapi nyatanya tidak ada yang terjadi.

"Ini minum aja dulu," Arthur menyodorkan gelas berisi es jeruk.

"Makasih," sahutku.

Dia orang yang pengertian. Arthur juga tidak pernah melakukan sesuatu yang aku nggak aku suka. Dia selalu berhati-hati dalam ucapan dan tindakannya. Mungkin dia tidak mau membuatku sakit hati atau marah. Aku senang orang sepertinya menyukaiku. Tapi sampai detik ini aku belum tau bagaimana perasaanku padanya.

"Untuk...jawabanku..." kata-kataku nyaris tak terdengar.

Tapi anehnya Arthur langsung menatapku.

"Apa kita bisa berteman dulu? Mengenal satu sama lain," kataku lagi yang hampir tidak terdengar lagi.

Aku tidak berani menatapnya. Yang aku lakukan hanya menatap tusuk sate yang tergeletak di atas piring.

"Oke," sahut Arthur yang membuatku menatapnya.

Dia tersenyum.

"Kita lakukan pelan-pelan. Aku tidak memaksamu. Jadi kamu tenang saja. Kita bisa mulai dari berteman dan mengenal satu sama lain."

Kata-kata Arthur kembali membuatku tenang. Di raut wajahnya tidak nampak amarah sama sekali. Benar kata gosip di kelas, kalau Arthur orang yang sangat sabar dan tidak gampang emosi. Atau mungkin lebih tepatnya dia menyembunyikan emosinya.

Siapa yang tau...

"Tapi...aku ingin menggenggam tanganmu sekarang. Apa itu boleh?" tanya Arthur sambil melirik ke arahku.

Untuk beberapa saat aku hanya terdiam ragu. Tapi akhirnya aku mengangguk. Tak lama setelah itu aku merasakan sebuah tangan menggenggam tanganku di bawah meja. Aku mencuri pandang ke Arthur. Dia menatap ke tempat lain. Tapi aku bisa melihat ujung bibirnya yang mengulum senyum.

Indigo ( TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang