~ooo0ooo~
Sangat pagi sekali aku terbangun. Saat melihat jam weker di nakas, masih pukul setengah empat pagi. Mau tidur lagi takut kesiangan, tapi rasa kantuk ini sangatlah susah diajak kerja sama.
Melawan rasa kantuk, aku berjalan sempoyongan ke arah wastafle. Memutar keran dan bertemu dengan air.
Saat ini juga aku ingin berteriak!
Sumpah ya! Ini dingin banget!!!!
Kalau aku tidak menutup mulutku, semua penghuni hostel akan terbangun gara-gara mendengar suara emasku. Buru-buru aku ambil handuk yang tersampai di dekat pintu.
Menatap suasana kamar membuat rasa segar ini hilang seketika.
Barang-barang kemarin belum dibereskan. Semuanya terlihat seperti kapal pecah. Baju tergeletak dimana mana, alat make up Andin yang berserakan, plastik bekas makanan, kabel menjuntai, dan sepatu yang tergeletak bersama kaus kaki yang tidak disimpan di rak.
Ingin sekali membangunkan Andin supaya membereskan kamar kami ini bersama. Tapi batin ku terusik melihat wajah lelahnya. Masalahnya bersama A Can pasti tidak mudah. Hubungan kakak adik itu terlihat seperti orang asing.
Pernah saat aku berkunjung ke rumahnya aku tersenyum sopan menyapa A Can, tapi dia malah melengos pergi, tanpa membalas senyumanku.
Asem emang!
Sekalinya A Can berbicara pada Andin, yang kulihat tatapannya sangatlah meremehkan, dan omongannya menusuk hati.
Kalo gue jadi Lo, gue akan kabur Ndin!!! Jerit batinku.
Mana tahan aku seatap dengan se-onggok eh maksudku sesosok manusia macam dia.
Tapi mungkin ada alasan lain mengapa Andin sampai sekarang masih bersikap baik dengan kakaknya. Entah alasannya bagaimana, yang jelas Andin belum cerita banyak tentang kakaknya padaku.
"Nanti ada saatnya gue cerita, Vir." Katanya saat sebelum tidur.
Okey lupakan si A Can yang dingin itu. Kembali lagi untuk beberes.
Sekarang aku harus membereskan baju, melipatnya dan memasukan pada lemari yg disediakan hostel. Menyimpan koper disamping lemari. Meletakan sepatu dan memasukan kaus kakinya kedalam sepatu. Dan perintilan lainnya, aku letakan di atas nakas dengan rapih.
Jarum jam menunjukan pukul 4. Ternyata rasa dingin yang kurasakan tadi hilang sudah. Olahraga pagi ini membuat badanku gerah.
Saat hendak membuang sampah aku melihat seorang lelaki yang duduk di ayunan.
Karena kebiasaan nonton konten penelusuran, membuat pikiranku bercabang kemana mana. Bulu kuduk ku berdiri,
meremang, dan
merinding.
Laki laki berbaju dan bercelana putih putih itu mengingatkanku pada sosok ... --aku tidak mau menyebutkannya---
Aku menepis semua pikiran yang engga engga. Mungkin dia juga warga hostel sini, yang sedang merenung, putus cinta, atau galau, ya kan?
Positif thinking Alvira!
Tapi ya tapi, badannya kaku.
Tidak bergerak sama sekali.Hanya ayunan lah yang bergerak kedepan dan belakang. Membuat suasana shubuh ini semakin errrr horor...
Tenang Alvira.. Tenaang...
Dengan terburu-buru aku meletakan sampah di tong sampah. Aku berjalan menuju kamarku. Tapi ada sesuatu bertengger dipundakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything has A Reason [Slow Update]
ChickLitDi umur yang akan memasuki seperempat abad itu, seorang Alvira Amanda belum pernah mengalami yang namanya "pacaran". Dia selalu disibukkan dengan dunia kerjanya, ataupun keluarganya. Terlebih lagi ia terpaksa masuk kedalam konflik rumit sahabatnya...