5. Safe Flight, Alvira

360 34 0
                                    

~ooo0ooo~

Sesampainya di hostel aku membersihkan diri kemudian membereskan barang bawaanku tanpa bersantai santai lagi, bukan saatnya. Karena malam ini adalah malam terakhirku menginap di hostel. Pak Gara tidak main-main menyuruhku datang ke kantor besok.

Apa dia tidak berpikir kalau Jogja-Jakarta itu sangat jauh dan butuh waktu?

Dan aku hanya punya waktu malam ini untuk perjalanan pulang. Bahkan aku tidak sempat belanja ke Malioboro dan mengunjungi bude ku disana.

Apalah daya kacung yang harus mematuhi tuannya ini. Hiks!!

"Loh kok Lo udah berkemas aja sih?"

Aku memberikan ponsel ku yang isinya bookingan tiket pesawat yang akan take off jam 9 malam.

Andin menghempaskan tubuhnya dikasur. Aku sungguh tidak enak hati padanya. Apa iya aku tega meninggalkannya sendirian disini? Dengan, dengan masalah yang belum selesai?

"Ndin..." Aku menghampirinya yang sedang memejamkan mata.

Mungkin dia juga kelimpungan sendiri. Mau mengizinkan ku pergi, ia ragu. Apalagi mencegahku untuk tetap disini, tidak bisa.

"Hm??"
"Gue juga gak tau udah di booking tiket pesawatnya sama Pak Gara"

Andin masih memejamkan matanya.

"Rencananya gue mau pulang besok. Pake kereta aja. Gue mau nego ke Pak Gara malam ini," aku masih memegang tangan Andin, dan mengusapnya pelan.
"sumpah Ndin badan gue serasa rontok tau!"

Andin bangkit dan menatapku "mobil Lo?"

"Lo yang bawa, plis ya?"
Andin berdecak sebal. "Lo kan tau,, gue belum pernah bawa mobil sejauh itu."

Iya juga ya. Masa mobilku di paketkan sih? Nanti kalau penyok pegimane? Mamah pasti akan ceramah. Duh, plis deh Alvira!

Tiba-tiba kok aku kepikiran si manusia tembok ya. Apa minta bantuan dia aja gitu? Eh tapi gak usah lah ya. Hubungannya dengan Andin kan masih gitu-gitu aja. Lebih tepatnya makin rumit dan njelimet. Tauk tuh mereka mau bawa kemana ceritanya. Yaa mudah mudahan sih happy ending yaa.

Bentar deh, ini gimana nasib mobilku? Apa aku bawa sendiri aja? Cancel aja gitu ya tiket dari Pak Gara? Tapi kan takut Pak Gara murka. Apalagi ini tiket pesawat kelas bisnis. Mungkin sebesar gaji Ica sebagai Staff Accountant. Fyuuhhh.. Sangat disayangkan, sodara!

Andin masih diam. Dia duduk dengan gusar. Mengambil posisi dari kaki menyila sampai kaki memanjang.

"Gapapa Vir. Lo berangkat aja. Masih ada waktu 2 jam untuk berkemas."

"Terus.. Lo??"

"Gue mau minta bantuan sama A Candra." Cicitnya ragu.

~ooo0ooo~

Sekarang disinilah aku. Di bandara Adji Sutjipto. Waktu masih jam 8. Masih ada satu jam lagi untuk makan.
Sepulang dari Prambanan jam 4 sore tadi, aku tidak langsung makan. Pak Gara meneror ku untuk tetap pulang ke Jakarta. Begitupun Mas Beni.

Tidak tanggung tanggung Pak Gara akan memberiku bonus setengah dari gaji ku. Dan juga penggantian cuti ku, 3 bulan setelah ini berakhir.

Aku tidak punya pilihan selain mengiyakan para atasan itu. Mas Beni yang biasanya memberikan keringanan juga sama memaksanya.

Kann, imanku lemah tatkala di iming-imingi dengan bonus yang besar. Sampai melupakan makan, menitipkan mobil kesayanganku, dan terakhir. Mengorbankan liburanku yang sudah terencana dengan Andin.

Everything has A Reason [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang