"Kak Vir, dipanggil Pak Gara tuh" sahut Geri sambil mengitari sekat kubikel ku kemudian ia duduk dikursi kerjanya.
Aku merapikan sedikit jilbab ku, dan bercermin pada cermin kecil yang sering ku bawa disaku blazer.
"Oke, thanks Ger. Gue ke sana dulu."
Sambil fokus menatap komputer, Geri mengacungkan jempolnya. Dan aku berjalan ke arah ruangan Pak Gara. Mau ada apa lagi dia memanggilku? Perasaan laporan kemarin sudah approved.
Saat sampai di depan ruangan Pak Gara, ternyata pintu ruangan tidak sepenuhnya tertutup, dan samar-samar aku mendengar pembicaraan orang di dalam. Sepertinya Pak Gara sedang menelpon seseorang.
"Iya Ar, saya tau kamu pasti membutuhkan uang saya"
Ucapnya jumawa. Orang kaya mah andalannya emang cuan. Title pribadinya tergantung pada seberapa banyak uang yang dimilikinya. Miris, congkak sekali atasanku ini.
"Memang nya kenapa? Kamu merasa tersindir?" Andalannya emang tukang nyinyir Pak Gara ini.
"kalau saja kamu nurut sama saya, kamu pasti gak akan kaya gini"
"Dengar Arga. Kalau bukan amanat dari eyang, saya gak sudi buat bantu kamu dalam hal ini!"
Percakapan mereka sepertinya makin panas. Tapi itu semua bikin aku penasaran. Sesekali nguping gapapa ya kan? Lagian aku kan disuruh kesini kata Geri. Ini mah ceritanya gak sengaja dong.
Tapi hey Alvira! Apa kamu gak takut nanti dijadikan pelampiasan amarahnya? Kenapa kamu ngotot mau nunggu dia selesai telponan?
"Alvira, saya tau kamu diluar"
Mampus! Ternyata Pak Gara sudah selesai telponannya. Baru saja mau balik ke kubikel.
"Tunggu apa lagi? Masuk!"
Aelahhhhhh iyaiya ini aku mau masuk Pak. Tuh kaann bener, aku mau dijadiin pelampiasan amarahnya. Persiapkan jiwa dan ragamu Alvira.
"Bagaimana Pak?"
"Sejak kapan kamu diluar? Kamu nguping?" Tebaknya yang hanya ku balas gelengan kecil.
Mana mungkin aku jawab jujur. Aku tidak mau mood ku hancur gara gara pelampiasan amarah Pak Gara dengan seseorang ditelpon tadi. Pak Gara menghembuskan nafas lama. Mungkin ia sedikit meredakan emosinya. Baguslah.
"Kamu tau, kenapa saya panggil kamu?"
Kini aku sudah duduk berhadapan dengan Pak Gara di sofa yang disediakan di ruangannya.
"Mengenai mutasi saya Pak?"
Dia menyunggingkan senyumnya "Sepertinya kamu gak sabar untuk pindah dari sini ya?"
Aku hanya bisa tersenyum meringis menjawab pertanyaan sindirannya. Pak Gara ini bisa tidak ya omongannya tidak menyakitkan. Apa sama orang lain juga dia omongannya kaya gini? Tapi ya, jika saja orang lain yang berkata demikian dengan nada yang berbeda, aku pasti akan menghargainya.
Lah dia mah nada bicara nya kaya ibu kosan yang nagih diakhir bulan dengan kata kata manis tapi bermakna lain, alias pait. Yang sabar yaa akuuu huhuhu.
"Jangan lupa, kita flight pagi dari sini. Kamu harus membawa file yang sudah disiapkan Nara, nanti tinggal ambil saja di meja saya pagi-pagi."
"Maksud bapak, saya ke kantor dulu?"
Kenapa ngga sekarang aja aku ambil file dari Mbak Nana, kan besok bisa langsung pergi ke bandara. Pak Gara nih kok ribet sih. Apa ada hal lain?
"Nara akan lembur malam ini mengerjakan laporan triwulan yang tidak jadi kamu kerjakan"
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything has A Reason [Slow Update]
ChickLitDi umur yang akan memasuki seperempat abad itu, seorang Alvira Amanda belum pernah mengalami yang namanya "pacaran". Dia selalu disibukkan dengan dunia kerjanya, ataupun keluarganya. Terlebih lagi ia terpaksa masuk kedalam konflik rumit sahabatnya...