~ooo0ooo~
“Yogya makin sini makin parah deh macetnya. Udah kaya Jakarta aja”
Andin yang duduk disebelahku hanya terkekeh mendengar keluhanku.
Seraya menunggu jalanan yang merayap, aku mengambil kacamata hitam yang berada dekat dengan kotak tisu. Hari sudah semakin sore, dan sinar matahari menembus dengan pekatnya.Ternyata penyebab kemacetan memang lampu merah. Dan musim liburan ini semua orang memang berlomba-lomba berkunjung ke Kota Istimewa ini.
Harusnya sih kami datang bukan saat-saat liburan seperti ini.Niat awal kami ke Yogya adalah untuk refreshing, me refresh diri dari semua kepenatan yang ada. Pekerjaan yang tiada hentinya, sabtu minggu pun kadang aku lembur untuk mencapai target. Belum lagi les bahasa untuk mengejar pendidikan ku di luar negeri.
Begitu pula Andin, yang sebentar lagi akan disibukan dengan skripsi, seminar dan sidang. Menjadi mahasiswa hubungan internasional membuatnya kelimpungan sendiri. Bahkan aku pun sering tertular pusing dan riweuh nya.
Tapi yaa mau bagaimana lagi, rutinitas itu harus kami lakukan, demi masa depan kami.
Kaan.. jadi curhat.
“By the way lo beneran sosok strong independent woman deh, Vir. Bisa nyetir Tasik-Yogya selama 10 jam,”
Aku merasa tersanjung dengan perkataan sohibku, sampai ia melanjutkan ucapannya---“lo kalau daftar jadi supir budiman bakal keterima tuh.”
“Sialan” umpatku seraya menginjakkan pedal gas.
Tidak selang beberapa detik tawa Andin menggelegar. Emang ya, sohibku ini kalau udah memuji pasti gak bakal beneran, selalu aja ada ujung ujung kenyinyirannya. Katanya sih takut aku jadi manusia congkak bin belagu. Gini nih punya sohib satu yang tukang nyinyir, emang harus sabar….
Lampu merah sudah berubah menjadi hijau, tapi tetap saja laju mobil merayap. Baru juga beberapa meter sudah kembali merah. Ternyata jangka waktu dari hijau ke merah memang 30 detik. Amsyong! Ini mah bisa nyampe malam duooong.
“Alamat!!!! nyampe hostel bisa malam nih.” Andin melirik jam tangan yg katanya muahalll itu.
“Lo udah hubungin si mbak mbak hostelnya belum, kalau kita mau dateng telat?” Lalu Andin touch up memoleskan bedak dan melanjutkan dengan mengoleskan liptin.
Lihat saja dia, bicara sudah seperti buk bos, dan aku sekarang seperti supirnya.
Boleh kuturunkan dia sekarang?Sadar diperhatikan oleh ku dengan tatapan tidak bersahabat, Andin menoleh dengan menaikan sebelah alisnya. “Ngapa lo liat-liat?” tanyanya sedikit heran.
Aku mengerlingkan mata jengah, dan mulai mengoper gigi, karna lampu sudah kembali hijau. “Lo aja lah yang telpon si mbak nya, masa harus gue lagi.”
Andin memasukan kembali alat make up nya. “Kan lo yang booking, Alvira.”
Meskipun dengan misuh-misuh dan terlihat seperti tidak ikhlas, Andin tetap menelpon si mbak pemilik hostel dimana kami akan menginap seminggu kedepan disana.
Baru saja Andin akan menelpon si mbak pemilik hostel, ia mengurungkan niatnya. Bahunya terkulai lemas.
“Gak ada pulsa ya lo?” Aku tidak tahan untuk ketawa.Gini nih, temenku ini emang gaya nya selangit, suka ngikutin fesyen tapi yaa agak pelit sama pulsa. Katanya kalau masih ada internetan, atau wifi gratis kenapa harus beli pulsa. Mungkin Andin gak pelit kali ya, emm bisa dibilang dia berhemat. Ya berhemat untuk bergaya. Aku tak habis pikir dengan jalan pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything has A Reason [Slow Update]
Chick-LitDi umur yang akan memasuki seperempat abad itu, seorang Alvira Amanda belum pernah mengalami yang namanya "pacaran". Dia selalu disibukkan dengan dunia kerjanya, ataupun keluarganya. Terlebih lagi ia terpaksa masuk kedalam konflik rumit sahabatnya...