35 - Musim Penuh Kehangatan

65 30 7
                                    

Seorang pria tengah duduk di sisi meja berukuran segi empat, sedang satu penghuni rumah lainnya terus terdiam di dekat lemari pendingin. Usai menyajikan minuman di atas meja, gadis itu tidak langsung bergabung dengan sang ayah. Tangannya mengangkat sebuah kotak makan berisi jajangmyeon. Mi tersebut sudah tidak layak disantap bersama lantaran terlanjur dingin. Buruk sekali, Hyora tidak memiliki stok makanan apa pun selain beberapa mandu yang sedang dipanaskan.

"Kenapa kau terus berdiri di sana?" tanya seseorang di belakang, membuat Hyora menoleh kemudian tersenyum kikuk.

Begitu mesin pemanas berdenting, Hyora segera mengalihkan perhatiannya. Mengeluarkan sepiring mandu yang siap untuk dinikmati. Tepat ketika gadis itu berbalik, seseorang yang bersamanya telah beranjak dari kursi.

"Bagaimana kau bisa memakan mi yang sudah dingin seperti ini?" Hajoon mendecak setelah mengecek apa yang sedari tadi putrinya perhatikan lalu mengambil alih makanan yang ada di tangan Hyora. "Kau tidak perlu memperlakukan Ayah seperti ini."

Pria itu kembali ke tempatnya semula bersama dengan mandu yang telah diletakkan menemani dua gelas teh hangat. Tangannya menepuk-nepuk meja pelan, sedang netranya terus memandang ke arah Hyora. Seolah memberi perintah agar gadis itu tidak lagi berdiri menjauh, Hyora pun akhirnya mendekatkan diriㅡmenarik kursi di hadapan Hajoon.

Kepala Hyora tertunduk. Tidak mampu menatap seseorang di depannya meski hati kecilnya berkata sangat ingin.

"Ayah pikir sedang bermimpi karena bisa melihatmu sedekat ini lagi," ujar Hajoon, mencoba memecah keheningan.

Samar-samar, sudut bibir Hyora terangkat. Dengan suara yang teramat pelan, bibir gadis itu juga berkata, "Aku juga."

Lantaran keadaan rumah yang begitu sunyi, suara Hyora masih dapat terdengar jelas. Mengundang senyuman di wajah Hajoon yang semakin melebar. Kekhawatiran yang sempat memenuhi pikiran pria itu seketika luruh. Terlebih ketika Hyora mengajaknya untuk masuk, berbicara lebih banyak dengannya.

Jemari Hajoon saling menaut kemudian diletakkan di atas meja. Sebelum melanjutkan pembicaraan, pria itu terlebih dulu membenarkan posisi kacamatanya. "Semua yang kau lewati terasa sangat sulit, ya?"

Begitu satu kalimat tersebut lolos dari mulut Shin Hajoon, Hyora segera mengangkat kepala. Satu dari banyak keinginan Hyora, bercerita tentang kehidupannya dengan ayah. Mengatakan bahwa selama ini ia hanya berusaha baik-baik saja, menjadi seseorang yang terlihat hebat di mata orang lain. Namun, yang sebenarnya terjadi tidak pernah baik-baik saja. Perpisahan yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan sangat menyisakan luka dalam, bagaimana gadis itu bisa menjalani hari tanpa rasa cemas?

"Kau, Ayah, dan juga ibumu ... pasti memiliki titik kesulitan masing-masing. Maaf karena Ayah tidak bisa bersamamu sejauh ini."

Penyesalan singkat yang dituturkan oleh Hajoon justru semakin membuat atmosfer ruangan tersebut semakin sendu.

"Ayah tidak tahu apa ini sudah terlambat untuk dikatakan atau tidak, tapi rasanya kau juga perlu tahu. Kau sudah cukup dewasa untuk mengerti." Hajoon sedikit mengambil jeda untuk menarik napasnya dalam.

"Ayah pergi bukan karena tidak menyayangimu. Hubungan Ayah dan ibumu memang tidak pernah berjalan baik sejak awal, bahkan orang tuanya juga tidak menghargai keberadaan Ayah. Aeri selalu menganggap apa yang diucapkan orang tuanya benar dan berakhir menutut Ayah lebih, seperti yang mereka inginkan. Ketika Ayah tidak mampu lagi menuruti keinginannya, ketika sadar bahwa jalan pikiran kami sudah berbeda, Ayah pikir berpisah adalah jalan terbaik."

Kala itu Hyora masih terlalu kecil untuk mengerti kehidupan orang dewasa. Yang ia tahu hanyalah tidak bisa bersama dengan ayah dan ibunya kembali seperti dulu. Setelah melihat Hajoon angkat kaki dari rumah, Aeri terus menumpahkan tangis meski wanita itu secara berani menyatakan untuk berpisah dengan Hajoon. Sejak saat itu, yang ada di dalam pikiran Hyora adalah Hajoon telah melakukan kesalahan besar sehingga membuat Aeri menangis dan Hyora membencinya. Lebih dari rasa benci, bahkan ia merasa bahwa tidak ada kebersamaan yang benar-benar membawa bahagia.

FORELSKET - New Version ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang