My Blood

28 2 1
                                    

"Yoongi-ssi!" Panggil seseorang dari belakang. Tentu saja Jimin, siapa lagi yang berani memanggil Yoongi seperti itu. Yoongi berhenti melangkah dan menunggu Jimin. Yoongi baru saja dari perpustakaan untuk meminjam beberapa buku biologi dan kimia-buku favoritnya. Menurut Yoongi, Biologi dan kimia itu sangat menarik dan ajaib. Seperti.. kok ini bisa begini? Bagaimana bisa ini berubah seperti ini?.

"Kau dari perpus?"

Tidak, baru dari kamar mandi. Uhh, sudah lihat aku bawa-bawa buku banyak begini. -batin Yoongi.

Ia tidak menjawab pertanyaan Jimin lalu melanjutkan jalan kelas yang kemudian diikuti Jimin disampingnya. Sepanjang koridor menuju kelasnya, Jimin selalu bicara da mengajaknya bicara, tapi hanya dibalas dengan deheman dan beberapa pertanyaan tidak ia jawab. Seperti:

"Kau sudah makan?"

"Uhh aku tadi makan roti isi lagi, tapi entah kenapa rasanya tidak enak,"

"Kenapa kau bawa buku banyak-banyak?"

"Ya! Itu buku biologi? Nilaiku benar-benar jelek saat tes biologi kemarin,"

"Mm.. kau bisa mengajariku kalau begitu! Iya kan partner?"

Yoongi memutar bola matanya malas, tidak terasa sudah sampai di kelas. Sudah lumayan ramai. Setelah ini satu pelajaran terakhir, lalu semua orang pulang ke rumah.

Skip KBM

Jimin mengajaknya pulang bersama, arah rumah mereka sebenarnya berbeda, tapi ya.. keluar gerbang sekolah kan sama?

Bunuh!

Yoongi menghentikan langkahnya. Pikiran-pikiran itu mulai datang lagi dan jika tidak diladeni akan terus-terusan menghantui otaknya.

Cepat, bunuh saja

Merasa Yoongi ketinggalan dibelakangnya, Jimin menghampiri Yoongi.

"Yoongi.. gwaenchana?" Tatapan Yoongi menghadap ke Jimin. Ia tidak melepaskan pandangannya sedetikpun.

Yoongi's POV

Cepat, bunuh saja

Suara dikepalaku membuatku membeku ditempat. Seharusnya aku langsung melakukan sesuatu, tetapi kenapa aku begini?

Jimin mendekatiku dan menanyakanku. Aku melihat ke wajahnya. Darah. Keluar dari mata, mulut, dan hidung. Bahkan di lehernya ada bekas sayatan. Aku segera tau kalau ini hanya pikiranku. Tidak nyata, tapi adiktif.

Aku mengambil napas panjang lalu menggelengkan kepala.

Benar-benar harus mencari korban -batinku.

Aku kembali jalan keluar gerbang, menuju parkiran. Baru enam langkah, pikiran itu kembali lagi.

Bunuuhhh Jimin.

Aku kembali menggelengkan kepala, lalu menengok ke sebelahku. Jimin sedang sibuk dengan hpnya sambil berjalan. Ya. Aku tidak mungkin membunuh Jimin, karena dia partnerku. Aku berpegang dengan prinsip, kalau aku tidak akan membunuh partner.

Aku memutuskan untuk berjalan lebih cepat untuk sampai ke parkiran. Jimin yang sadar kalau aku mendahuluinya, mengejarku.

"Ya! Yoongi-ssi, kenapa meninggalkankuu?" Aku tidak menjawab dan sekarang berlari kecil. Suara-suara di kepalaku terus memanggil nama Jimin karena ia yang ada di dekatku.

Sampai di parkiran, aku cepat-cepat mengambil motor dan meninggalkan Jimin yang... entahlah, melongo? Mungkin saja.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran itu terus saja berada di kepalaku. Ini biasa terjadi jika aku tidak segera berniat membunuh seseorang setelah pikiran ini datang.

Harus bunuh sekarang!

Aku sudah tidak tahan. Aku memakirkan motorku di depan minimarket dekat apartemen, lalu masuk dan membeli isi ulang cutter, perban, dan obat merah.

Lalu aku pulang ke apartemen dan langsung pergi ke kamarmandi. Tas sekolah sudah kuletakkan di atas kasur, sehingga aku hanya membawa barang yang kubeli tadi ke kamar mandi.

Terkadang aku melakukan ini. Saat-saat dimana aku sedang tidak ingin membunuh siapapun. Perlahan aku mulai menggores. Awal-awalnya memang goresan tipis dan tidak terlihat, tapi goresan seperti ini membuatku sedikit kaget. Itu hanya awal saja. Sekarang aku menggores lebih dalam.

"Hahh... hahhh....," tetesan demi tetesan mengalir dari pergelangan tanganku ke lantai. Ini menyenangkan, juga mendebarkan.

"Aniya, aku tidak akan mati.. haha," aku menyenderkan tubuhku di tembok lalu menghela napas. Sengatan yang datang dari pergelangan tanganku membuat jantungku berdegup lebih banyak dari biasanya.

Bunuh!!!!

"Hahhh... uh.."

Brukk!

Aku terduduk di lantai dan melihat disekitarku sudah banyak sekali darah. 10 detik aku diam memerhatikan lantai penuh darah itu. Aku lalu cepat-cepat menyadarkan diri dan bangun dari dudukku.

Aku tidak akan mati -batinku

Dengan agak terhuyung aku membuka kantong plastik di kasur. Ya, disitu ada perban dan obat, aku membelinya tadi. Dengan susah payah aku membuka bungkus perban lalu membalut pergelangan tangan kiriku. Aku tidak membasuh lukaku karena mungkin waktunya sudah tidak ada lagi.

Deg!

Aku terduduk di sebelah kasur. Mendadak jantungku berhenti, tapi hanya sedetik. Aku panik lalu dengan tergopoh-gopoh menelepon Jimin. Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya—menelepon seseorang, karena luka sebelumnya tidak pernah separah ini sampai membutuhkan orang untuk menolongku.

"Yeoboseyo? Yoong-"

"Apartemenku, sekarang.."

"Kau tidak apa-apa?"

Tuuuuttt....

Aku menutup telepon dan langsung mengiriminya lokasiku dan juga pin apartemen. Setelah itu aku menunggunya. Terduduk disamping kasur. Seketika pikiranku kosong. Aku melihat darah dari kamar mandi, menetes sampai ke kasur, lalu darah itu mengotori seprai putihku.

"Haha, aku.. harus mencucinya besok..," setelah itu semuanya gelap.

.
.
.

This WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang