Second #2nd

12 1 0
                                    

Tidak ada hari tanpa Park Jimin. Bukan, dia yang selalu mengajakku bicara atau mengirimiku pesan. Sesekali juga Jimin datang ke rumahku membelikanku makanan untuk kita makan berdua. Aku tidak masalah akan hal itu, asalkan Jimin tidak bertindak diluar nalar saja. Oh jangan lupakan pembunuhan kedua Jimin sebagai partner baruku. Dia tidak takut lagi, tapi aku masih bisa melihat jari-jarinya bergetar saat menyayat tubuh korban.

Flashback On

Pulang sekolah, seperti biasa jam 5 sore. Jangan lupakan Jimin, entah kenapa dia selalu mengikuti kemanapun aku pergi.

Kemanapun?

Aku menyunggingkan senyum kemudian menengok ke Jimin.

"Jimin-ssi," ia menengok dengan tatapan wajah 'ada apa?'

"Aku ada rencana, malam ini datanglah ke rumahku," sepertinya Jimin tidak terlalu tertarik dengan tawaranku, dia hanya mengangguk lalu kembali memainkan hpnya.

-malam-

Jimin datang jam sembilan malam. Tapi jam sembilan termasuknya masih sore, jadi tidak apa lah Jimin bermain-main selama empat jam di rumahku. Ya, aku akan mulai beraksi jam satu dini hari.

"Jadi bagaimana rencanamu?" Tanya Jimin sambil memakan chips yang diambil dari kulkasku. Heol benar-benar, Jimin senang mengambil makanan di kulkasku lalu memakannya. Tapi aku tidak masalah dengan itu karena sudah beberapa kali ia membawakan makanan kesini.

"Kau akan tau nanti," aku mulai memilih-milih barang yang akan kupakai untuk membunuh malam ini. Tidak jauh dari kata sianida, seperti biasa aku membawa suntikkan yang sudah ku isi cairan sianida, suntikkan berisi morfin, dan obat tidur. Kemudian menaruhnya di kantong hoodieku. Sementara Jimin si tukang potong membawa pisau lipat. Malam ini korban hanya akan mendapat beberapa sayatan kecil.

Jam satu dini hari.

Malam ini cukup ramai, lagi-lagi aku dan Jimin pergi ke pinggiran kota karena daerah disana sepi. Jimin memakai mantel tebal dengan bulu-bulu di sekitar penutup kepalanya. Benar, malam ini memang sangat dingin bagi orang-orang, tapi tidak untukku. Aku hanya memakai hoodie biasa kesayanganku yang sudah berkali-kali menemaniku membunuh.

Kami berhenti di sebelah gang kecil, menunggu mangsa. Hanya satu dua orang yang lewat, tapi dari tadi yang lewat semuanya berpasangan. Oh c'mon, aku masih noob, belum sampai membunuh dua orang langsung.

Tepat jam 3 pagi, ada seorang namja yang berjalan sendirian. Dari jauh sepertinya ia habis minum. Well, kebanyakan orang di jam-jam segini memang suka minum.

Aku membuka kupluk hoodieku agar bisa melihat mangsa lebih jelas. Uh, lampu disini tidak membantu, remang-remang!. Akhirnya kutunggu orang itu mendekat.

"Apa itu mangsa kita?" Tanya Jimin menggesek kedua telapak tangannya. Aku berdehem tanda 'iya'

Orang itu sudah dekat, jaraknya sekitar 3 meter dari kami. Dan
.. sekarang tepat di depan kami.

"Oi!" Panggilku. Orang itu tidak menengok dan tetap jalan seperti zombie.

"OI!" Kali ini aku memanggilnya lebih keras dan dia menengok. Sekarang aku bisa melihat wajahnya. Wajah yang pernah aku lihat. Teman sekamarku saat karyawisata— Jin.

"Eoh? Mmm.. ah! Min Yoongi?!" Tunjuknya, ia menyunggingkan senyum lalu berjalan ke arahku dengan terseok. Aku memberi aba-aba ke Jimin saat Jin sudah tepat berada di hadapanku dan hendak memelukku, lalu membawanya masuk ke dalam gang.

Aku melemparnya ke aspal. Jin kaget, dari bawah cahaya remang-remang aku bisa melihat wajahnya yang dibalut kemarahan dan ketakutan.

"Hhhh.. Lepaaasss!!~" rengeknya.

"Hei,, hei tenanglah," tanpa basa basi lagi, aku menyuntikkan satu pompa penuh campuran cairan sianida, morfin, & obat tidur yang kubawa tadi, ke dalam pembuluh darah di belakang telinganya. Jin terus meronta tidak jelas yang menandakan zatnya bekerja.

Aku menengok ke Jimin yang berdiri di kananku. Raut wajahnya seperti tidak percaya dengan apa yang dilihat, yeah maklum ini temannya sendiri. Selagi Jin memberontak kesakitan, aku menyuruh Jimin menyayat kelopak mata Jin. Awalnya Jimin kaget karena korban masih sekarat, tapi toh dia maju juga.

Pertama Jimin menindih Jin. Sangat terasa kejang-kejangnya, membuat ia menjadi tegang. Kemudian Jimin menangkup kepala Jin dan mulai menyayat/mengambil kelopak matanya. Aku bisa melihat tangan kanan Jimin yang bergetar ketika menyentuhkan ujung pisau itu ke kelopak mata Jin.

"Ayolah, semakin lama kau akan semakin takut," ucapku pada Jimin. Sekilas aku melihat matanya. Ia takut dan marah.

"Aku.. tidak takut,"

Jleb!

"Hnnnggggggg!!!!!!" Sekali dorongan, pisau lipat itu menembus mata kanan Jin. Padahal aku hanya menyuruhnya menyayat kelopak mata, tapi ini.. justru lebih sadis.

Jlebb!!

Mata kiri Jin juga menjadi sasaran selanjutnya. Sayangnya sudah tidak ada erangan dan pergerakan dari Jin. Ia mati.

"Kajja pulang," ajakku setelah membersihkan TKP. Jimin berjalan di sebelahku, dan aku lihat wajahnya sedikit pucat.

"Kerja bagus," kataku.

Pagi ini pukul 4, kami pulang ke apartemenku. Menantikan hari-hari selanjutnya.

Flashback off

.
.
.

Kalo mau next ayo buat aku semangat :v

This WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang