11. PENGKHIANATAN

8K 440 40
                                    


"Menyerah artinya kalah. Tapi gue gak akan nyerah sampai kalah sekalipun!"
~Bulan batari

11. PENGKHIANATAN

Hari yang sial memang ada di dunia. 
Dan sekarang aku berada dihari itu. Aku dan Disa dikeluarkan dari kelas karena ketahuan mencoktek. Pak Agung menyuruh kami angkat kaki dari kelasnya. Betapa kejamnya si bapak!

Sekarang Aku dan Disa ada dikantin. Hanya ada kami berdua dan tukang dagang yang sedang mempersiapkan daganganya. Cewek di depanku ini terus bergulat dengan bukunya.

"Sulit banget sih, ini rumusnya gimana coba," ujarnya prustasi.

Aku hanya menatapnya heran.

"Apa liat-liat?!" Disa tidak terima diliatin.

"Dari tadi kamu ngerjain mtk?" tanyaku.

"Iyalah. Masa inggris!"

"Emangnya bisa?" tanyaku lagi.

"Menurut kamu aja Lan. Dari tadi aku coba ngerjain tapi gak dapet-dapet jawabnya. Artinya aku bisa atau gak?" jawabnya kesal.

"Tinggal bilang gak bisa aja pake muter-muter," cibirku memutarkan bola mata.

"Mending aku masih ada usahanya. Lah kamu diem aja dari tadi. Percuma kamu pinter kalo pelajaran mtk masih enol!" hina Disa tega.

"Bersyukur aku masih pinter. Lah kamu?" ujarku tak mau kalah.

Saat Disa bergulat dengan buku buku. Seseorang melempar tasnya ke meja tempat kita duduk.

"Woi, gak sopan!" bentak Disa pada pemilik tas hitam yang banyak coret-coretannya.

"Kenapa? gak boleh?" ujar si pemilik tas itu, lalu dia duduk sesukanya.

Aku menghela napas dalam. Gildan lagi Gildan lagi, kami memang harus banget ketemu dia terus setiap lagi dihukum?


"Kamu tuh kenapa sih? Kalo Dateng gak pernah damai. Gerasak-gerusuk mulu! Untung gak kena muka. Coba kalo kena muka. Lumayan kan sakit!" cerocos Disa memarahi Gildan.

"Berisik,"  ujar Gildan, sontak aku menahan tawa. 

"Pergi sana kalo gak mau bersisik, ngapain disini?!" usir Disa berani.

"Suka-suka gue dong. Sekolah bayar ini," balas Gildan songong.

"Iya tapi ngapain di sini. Tuh masi banyak yang kosong. Cari tempat lain sana," kataku ikut mengusir cowok itu.

Dia semakin tengil ketika kakinya naik sebelah keatas kursi.

"Punya kaki yang sopan kek," celetuk Disa.

"Kenapa? gak suka?"

"Semerdeka kamu deh. Sekolah bayar ini," balas Disa mengulang ucapan Gildan tadi.

Setelah itu tidak ada lagi yang berdebat. Aku dan Disa sama-sama fokus ke buku lagi.

Disa mengeluarkan jarinya untuk menghitung angka, "11,12,13,14,15,16,17."

TITIK LUKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang