17: Tragedi Lampau

381 108 33
                                    


𝟏𝟕
𝐓𝐫𝐚𝐠𝐞𝐝𝐢 𝐋𝐚𝐦𝐩𝐚𝐮

Bandara Soekarno Hatta, 31 Mei 2019

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bandara Soekarno Hatta, 31 Mei 2019.

"Ohayou, Takuya-sama. Apa kau sudah mendarat dengan aman di Indonesia?"
*selamat pagi.

Sagara yang sebenarnya baru mau menelepon Chandra untuk minta izin telat ke sekolah akhirnya harus menerima panggilan telepon dari Tuan Nakamoto. "Aku sudah sampai. Tolong sampaikan pada ibu dan ayah. Aku pulang dengan selamat."

Tanpa mendengar basa-basi selanjutnya yang akan keluar dari bibir Tuan Nakamoto, Aga langsung mematikan sambungan telepon mereka secara sepihak setelah menyampaikan pesannya.

Masa bodoh perihal tata krama, toh sekarang dia berada di Indonesia kan? Di negara yang pemuda-pemudinya mayoritas diklaim minim akhlak karena sering pakai jokes 'akhlakless' di Twitter. Wajar saja kan kalau dia ikut-ikutan kurang ajar?

Lelaki berkulit pucat itupun menudukkan kepala pada staff yang telah mengambilkan koper dan tasnya, sebagai ungkapan terima kasih. Sepasang mata kelamnya pun melirik pada jarum di arloji tangannya. Sudah jam 06.15.

Kalau balik ke apartemen tidak mungkin, hari ini dia harus menyusul ulangan kenaikan kelas. Tapi kalau sekarang langsung pergi ke sekolah ya resikonya pasti bakal terlambat. Konsekuensi berkendara dengan mobil di pagi hari, besar kemungkinan terjebak macet.

Lalu Aga menekan kontak telepon shuttle car bandara dan tanpa perlu menunggu lama langsung tersambung. "Tolong bawakan mobil Lexus berplat nomor 1308 SGR atas milik Takuya Sagara ke terminal tiga. Terima kasih."

"Mohon ditunggu dan terima kasih kembali."

Sesungguhnya barang bawaan Aga saat pulang ke Jepang kemarin cuma satu backpack berukuran sedang. Isi tasnya itupun hanya buku pelajaran yang dipelajarinya di sela kelas upacara minum teh dan seragam sekolah. Dan karena Ketupat lah dia harus membayar ekstra bagasi hanya untuk 2 buah koper yang penuh oleh-oleh.

Cangkir porselen dengan beragam corak bunga untuk barisan putri Ketupat dan puluhan gulungan kaligrafi Jepang untuk barisan putra. Mereka bisa menjadikan oleh-oleh itu sebagai pajangan. Dia juga tak melupakan pesanan khusus Hasan untuk membawakan majalah dewasa.

Bukan itu saja, dia juga membeli sebuah kalung. Belinya juga tanpa rencana. Saking terpukau ketika melihat kalung itu di etalase kaca, tanpa sadar Aga langsung merogoh dompetnya dan menyerahkan kartu debitnya pada pegawai toko.

Kalung tersebut lengkap dengan bandul bentuk angka delapan yang mendatar. Lebih tepat simbol dari infinity, bermakna tanpa batas. Tapi... kalung itu harus diberi ke siapa?






_____

Halo juga, Wendya!
Adya Rananda
From: adyarananda@gmail.com
To: vilovewendya@gmail.com
Date: 31 Mei, 2019, 11.45 PM

Delapan [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang