Epilog

797 118 64
                                    

Koishiteru tak berakhir buntu, sebab yang Vilove Wendya dan Takuya Sagara saat ini butuhkan hanyalah penelusuran mendalam akan luasnya dunia melalui sewindu tenggat waktu.

Selama itu mereka akan berjuang demi cita-cita yang harus digapai. Lantas jika sewindu kemudian Tuhan menakdirkan mereka yang telah dewasa untuk bersama kembali melanjutkan masa lalu, ya mau bagaimana lagi?

Mereka harus bersatu.

Dan itu harus.


















______

SMA PELITA ASA, 2028.
Aga's PoV.


"Takuya Sagara!"

Di tengah hiruk pikuk orang tua yang beramai-ramai mendaftarkan anaknya di sekolah ini, saya berhasil menemu sosoknya.

Vilove Wendya. Wendya satu-satunya wanita berinisial 'V' yang paling saya love.

Tak terasa sudah delapan tahun tak berjumpa dengannya. Sekarang dia nampak manis dengan potongan rambut pendek. Bahkan jauh lebih manis dibanding impresi pertama saya padanya dulu.

Wendya yang nampak kelelahan setelah menerobos keramaian kini menunduk dan menumpukan tangan di kedua lutut. Dan saat mendongak, wanita itu malah menunjukkan air muka yang sangat... kecut.

"Kenapa kamu ada di sini, Ga?" tanya nya. Wendya menggelengkan kepala, menunjukkan ketidakpercayaan akan eksistensi saya di depan netra bersorot lembutnya. "Kamu nggak seharusnya ada di sini."

Saya mengangguk. Seharusnya saya tidak di sini. Sebenarnya saya dijadwalkan baru bisa kembali ke tanah air tercinta ini tahun depan. Untuk mengurus proyek sesuai kesepakatan saya dengan Juan, Virga, dan Jimmy.

Dibanding proyek besar, saya memilih mengabaikan jadwal dan pulang secepatnya karena ada 'sesuatu' yang lebih penting.

"Ada sesuatu yang harus saya urus di sini. Bukannya sekarang kamu seharusnya pergi jadi tutor cooking class di Bali, ya?"

Meskipun pernah terpisah beda negara, zona waktu, dan benua, saya tak pernah memutus kontak dengan Wendya.

Walau cuma bisa beradu suara setahun sekali, di sela bekerja saya selalu memastikan bahwa setiap hari harus ada email yang terkirim ke akun surel pribadi Wendya. Isinya tak lebih dari satu paragraf dan sekadar menanya kabar. Kalau tak dibalas, saya sudah terbiasa untuk langsung memantau lewat akun media sosialnya.

"Aku undur jadwalnya," jawab Wendya. "SEMUA JADWALKU HANCUR GARA-GARA CHAN―" Wanita berambut pendek itu membelalak saat mata saya ikut melotot. Kompak menyadari bahwa dirinya telah mengucap sebuah rahasia.

Rahasia yang tak boleh kami ucapkan seenaknya di muka umum.

Rahasia yang juga merupakan alasan utama saya rela mengambil penerbangan midnight dari Tokyo ke Jakarta. "Tenang. Bukan kamu saja yang dipanggil Chandra ke sini."

Wendya menghela napas panjang, lalu mengelus dada berkali-kali. Merasa lega. Dia juga memasang wajah cemberut. "Kenapa kamu nggak bilang ke aku dari tadi sih!?"

Setelah menggerutu dan masuk ke dalam gedung IPA, saya kembali dibuat merasa tak mengerti sekaligus heran melihat penampilan Wendya saat ini. Saat SMA dulu, dia tak mau memotong poni depan karena takut gampang jerawatan.

Sekarang dia malah berponi dan membuat saya gemas padanya. Seraya bergerak spontan mengacak poni tipisnya yang tertata rapi saya berani bertanya. "Kamu sudah punya pacar?"

Delapan [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang