PART 26 | WAKTU

226 26 0
                                    

UNDERSTOOD?
.
.
.
.
.
HAPPY READING!

Keadaan semakin larut malam, namun Amel tidak kunjung pulang. Anjeli semakin khawatir dengan keadaan Amel. Anjeli sudah menelepon Amel berkali-kali, namun tak ada jawaban.

Anjeli sangat kebingungan. Ia ingin melapor pada polisi, tetapi kehilangan Amel tanpa kabar belum 2×24 jam. Ia pun memutuskan untuk menunggu Amel sebentar lagi.

Hingga tengah malam menjelang, Amel belum pulang. Anjeli ingin mencarinya, namun terlalu bahaya apabila dirinya keluar tengah malam sendirian. Ia berusaha menghubungi teman-teman Amel yang memungkinkan Amel pergi ke rumah mereka, namun hasilnya tetap nihil.

"Amel kamu ke mana, Nak?" gumam Anjeli khawatir akan keberadaan Amel.

Anjeli mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu. Ia memutuskan menunggu Amel di sofa. Hingga kantuk tiba-tiba menyerangnya. Ia pun tertidur di sofa.

Keesokan paginya, Anjeli segera pergi mencari Amel ke sekitar tempat tinggalnya. Namun tak menemukan Amel, ia pun langsung mencari ojek untuk pergi ke kantor polisi.

Kurangnya info, polisi sangat kesulitan menemukan Amel. Anjeli pun mengabari Roy bahwa Amel tak pulang ke rumah, dan memintanya untuk datang ke kantor polisi. Tentunya, Roy menolak.

"Amel gak pulang dari kemaren, dan sama sekali gak ada kabarnya. Aku sekarang sudah di kantor polisi. Bisa kamu datang ke sini juga?" pinta Anjeli begitu sambungan telepon terhubung.

"Itu 'kan anak kamu. Ya, kamu urusin aja sendiri," jawab Roy. Terdengar ada nada gugup yang berusaha ditutupinya.

"Itu juga anak kamu, Roy!" tukas Anjeli kesal pada mantan suaminya itu.

Panggilan diputuskan sepihak oleh Roy, Anjeli sangat bingung harus berkabar pada siapa lagi. Air mata pun membanjiri pipi Anjeli. Ia terus berusaha menanyakan saudara saudaranya.

***

Amel dibuat tidak sadarkan diri oleh orang-orang yang menangkapnya. Saat terbangun, ia sudah berada di ruangan yang terasa familier untuknya. Namun ia ragu-ragu, sekaligus tidak ingin mempercayai pikiran buruknya.

Ia terbangun dengan tangan dan kaki yang sudah terikat di sebuah kursi. Untung saja, mulutnya tidak dibungkam dengan lakban.

Perhatian Amel teralihkan pada suara decitan pintu yang terbuka. Dan tampaklah laki-laki paruh baya yang memasuki ruangan itu.

"Udah bangun? Nyenyak nggak tidurnya?" tanya pria tersebut melangkah mendekati Amel.

"Lepasin gue!" jerit Amel yang sudah tak berdaya.

"Hah? Apa? Lepasin? Enak aja, Papa kamu aja belom bayar utang!" sarkas pria itu.

"Ya, minta aja sama orangnya. Kenapa gue dibawa-bawa?" kesal Amel.

"Tau, gak? Kamu itu udah dijual sama Papa kamu," papar pria itu tersenyum miring.

Amel terkejut bukan main mendengarnya. Ia menggeleng-geleng, tak percaya sang Ayah berani melakukan hal itu padanya. Air mata pun sudah membanjiri wajahnya. Bagaimana bisa Ayahnya sejahat ini?

Ia bukan barang yang dapat diperjual-belikan seenaknya. Ia juga bukan alat pelunas utang Ayahnya. Tetapi kenyataan begitu menyakitkan.

Mengapa ujian datang bertubi-tubi padanya? Sudah cukup pada kenyataan pahit tentang dirinya yang mengidap PTSD. Mengapa kembali datang hal yang bahkan lebih parah dari sebelumnya?

Rasanya, baru saja ia merasakan kebahagiaan dari sang Ibu dan juga kehadiran Dino. Tetapi mengapa kebahagiaan untuknya sesingkat itu? Apakah ia memang tidak ditakdirkan untuk bahagia? Jika iya, sungguh menyedihkan hidupnya.

Understood? (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang