“Menikah adalah salah satu bagian dari takdir hidup. Kau bisa berencana untuk menikahi seseorang, tapi kau tak bisa merencanakan pada siapa kau jatuh cinta.”
🥀🥀🥀
Hari yang mereka tunggu pun tiba, semua orang dalam rumah keluarga Aldari tak ada yang bisa memejamkan matanya sejak malam.
Bergadang semalaman, dengan hati yang sama-sama gundah. Apalagi Adira, jiwanya terasa amat kosong, tak ada apapun yang ia harapkan setelah ini, satupun.
Adira duduk diam di kursi riasnya, memerhatikan pantulan dirinya yang terlihat sangat menyedihkan, kantung mata yang menghitam, mata yang sayu, dan wajah yang pucat.
Adira tersenyum, air matanya kembali mengalir saat seseorang masuk ke dalam kamarnya.
Alika memeluk tubuh Adira dari belakang, ia menangis tertahan, menahan hatinya yang ikut tersakiti karena kejadian ini. Jujur Alika sangat paham akan rasa tertekan dan tak bebas seperti ini, apalagi karena sebuah kesalahan yang tak Adira pahami bagaimana bisa berlangsung.
"Ra, bunda kamu tadi bilang, kalau aku harus bantu kamu buat make up, jadi ayo kita kerja sama, kamu bantu aku ya, jangan nangis." Alika memutar kursi Adira hingga mereka saling berhadapan, lalu ia mengelap air mata Adira dengan sapu tangan miliknya.
setelah selesai, Alika membuka genggaman tangan Adira dan menaruh sapu tangan itu di telapak tangannya. "Kalau kamu sedih, sapu tangan ini yang bakal nemenin kamu."
Adira mengusap pipi Alika, lalu menghapus jejak-jejak air matanya dengan sapu tangan yang ada di tangannya, "seenggaknya, kalau lo mau hibur orang jangan lemah di depan orang itu." Mereka saling melempar senyum, dan kembali berpelukan.
"Udah ayo, kita harus cepet. Sebentar lagi jam delapan, kamu harus siap-siap."
Alika mulai membersihkan wajah Adira, lalu memoleskan berbagai make up bunda Adira saat tak sengaja bertemu di lantai bawah.
🥀🥀🥀
Kedua mempelai sudah duduk berdampingan di harapan sebuah meja kecil yang terbuat dari kayu, suasana di ruangan itu sangat-sangat mencekam tak ada seorang pun yang berbicara.
Alika, Rama, Farel, Ucup, Fanya, dan seseorang yang pernah tinggal di hatinya dulu, Fariz. Fariz membela-belakan terbang ke Indonesia semalam karena mendapat kabar dari Farel, ia sudah absen dari kampusnya untuk beberapa hari ke depan.
"Semuanya sudah siap?" tanya seorang pria tua yang berprofesi sebagai penghulu.
Semua yang ada di ruangan itu mengangguk, tanpa menjawab dengan suara.
"Jika ada sesuatu hal yang belum di sampaikan, lebih baik sebelum akad ini dilaksanakan." Semuanya diam, tak ada yang bersuara dan menyaut.
"Baik, karena semuanya sudah siap, mari kita mulai pernikahan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adira
RomanceKata rindu menguap hilang bersama lembayung senja yang mengerikan, detik masih menjadi kendala terbesarku, dan dirimu masih tetap menjadi penyesalan terbesarku. Aku tahu jika masa tak akan mungkin abadi, dan perpisahan sudah datang di ujung perbata...