"Jika aku pergi, maka itu bukan salahmu, ataupun salahku, semuanya takdir, dan kita memang diharuskan menelan kepahitan meskipun dengan susah payah, bukan?"
🥀🥀🥀
Beberapa bulan terakhir, Adira semakin disibukkan oleh pekerjaannya, juga dengan persiapannya untuk sidang skripsi di bulan **** nanti, meskipun masih ada beberapa bulan, tapi Adira tetap harus bersiap hingga persiapannya sangat matang.
Ini masih semester tujuh menuju semester delapan, sudah dua bulan terhitung jarak pernikahannya hingga kini.
Kehamilannya pun masih ia tutupi dari semua orang, ia mencoba menutupi hal ini dengan baik, karena kebesaran perut yang belum kentara. Pernah mendengar, jika orang yang hamil lebih dulu di luar nikah, maka kehamilannya tidak akan terlalu besar dan terlihat jelas? Ya, sepertinya hal itu terjadi pada Adira.
Pukul 8 pagi, Adira melalukan rutinitasnya yang tak lain ialah bekerja di cafe. Akhir-akhir ini Adira juga sering pergi ke kampus untuk mengikuti beberapa kelas setelah bekerja di cafe.
Meskipun tubuhnya terasa lebih cepat lelah karena membawa dua tubuh, Adira masih harus tetap melakukannya dengan benar, agar masa depannya bisa ia tata ulang tanpa kesalahan. Katakanlah jika Adira egois, lebih mementingkan masa depannya dibandingkan rasa lelah yang harusnya tak ia cari.
Keadaan cafe pagi itu terbilang sangat ramai karena para pelayan tak henti-hentinya membuat pesanan dan menerima pesanan. Dan Adira cukup kewalahan menghadapi banyaknya pelanggan hari itu.
Namun ada sesuatu hal yang tak ia sadari, sedikit pun. Ia tak melihat jika ada seseorang yang ia kenal sedang duduk di sebuah meja dengan seorang wanita berbaju merah dengan dandanan yang cukup mencolok.
Adira tak menyadarinya karena keadaan cafe yang sangat-sangat membuatnya merasakan lelah dua kali lipat.
Adira berjalan untuk menanyakan pesanan pada meja yang awalnya ia tak tahu siapa yang tengah duduk, namun dirinya tiba-tiba mematung saat menyadari jika pria di meja itu telah memerhatikan Adira dari kejauhan.
Ia tak akan bisa kabur ataupun berbohong karena wajahnya yang memang sudah saling bertatapan cukup lama, ia tak bisa mengelak untuk hal ini.
Adira ingin kembali, tapi kakinya kaku tak bisa digerakkan. Pria yang sedari tadi memandangnya tajam langsung berdiri dan menghampiri Adira.
"Kenapa, Ra? Terkejut? Sama, saya terkejut melihat istri saya bekerja." Arka tersenyum mengejek, lalu memegang pergelangan tangan Adira dengan paksa. Ia menarik tubuh kecil itu keluar dari cafe, namun Bu Riska yang sedari tadi memerhatikan langsung bergabung saat melihat Adira diseret paksa oleh Arka.
"Permisi, nak. Tak baik memperlakukan wanita seperti ini, bicaralah baik-baik tanpa pemaksaan. Adira gak papa?" tanya Bu Riska dengan lembut, Bu Riska tak tinggal diam, ia mencoba melepaskan genggaman itu dari tangan Adira, namun Arka malah menatap Bu Riska dengan tajam seolah tak takut pada apapun, termasuk ramainya cafe saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adira
RomanceKata rindu menguap hilang bersama lembayung senja yang mengerikan, detik masih menjadi kendala terbesarku, dan dirimu masih tetap menjadi penyesalan terbesarku. Aku tahu jika masa tak akan mungkin abadi, dan perpisahan sudah datang di ujung perbata...