“Menceritakan satu persatu masalah pada orang lain bukannya mudah. Namun, saat kita mendapat kesempatan, mengapa tidak mencoba walaupun sulit?”
🥀🥀🥀
Setelah melewati malam dengan canggung sendirian, paginya Adira segera mempersiapkan diri untuk pergi ke cafe. Bukan, bukan sebagai pelayan, tapi ia akan datang sebagai pembeli.
Meskipun pergi keluar rumah masih menjadi tantangannya, bukan berarti ia harus mengalah hanya karena mengangkut dua badan sekaligus, bukan?
Ini hidupnya, meski ia tahu seberapa besar kebohongannya selama ini, Adira masih harus menjalaninya dengan biasa.
Adira memilih jalan aman, meminta Farel untuk menjemputnya agar tak terlalu dicurigai oleh Arka.
Kenapa Farel? Karena Rama bukanlah orang yang bisa diajak kerjasama dalam hal berbohong pada Arka, sebenarnya tidak berbohong juga, Adira hanya meminta Farel untuk menutup mulut dan pura-pura tidak tahu akan kepergiannya, ya, hanya itu.
Di perjalanan baik Adira ataupun Farel tak mencoba untuk membuka percakapan apapun, mereka hanya membiarkan suasana menjadi dingin dan canggung. Farel yang masih gugup akan status Adira yang sekarang ia sandang sebagai menantu nyonya Aldari, begitupun Adira yang enggan mengobrol pada Farel yang terang-terangan bersikap gugup padanya.
"Turunin di sini aja, makasih ya tumpangannya. By the way jangan lupa sama perjanjian kita." Farel mengangguk, tak menanyakan apapun lagi pada Adira termasuk tujuan pasti kemana Adira pergi.
"Hati-hati ya, Ra."
Setelah Adira keluar, Farel segera memutar balikkan mobilnya dan meninggalkan Adira sendirian di jalanan yang cukup ramai itu.
Bukannya Farel tega meninggalkan Adira sendirian berjalan, hanya saja Farel mengerti jika Adira tak ingin canggung padanya, lagi pula jalanan di sana cukup ramai dan banyak pertokoan.
Di tempat turunnya Adira memang tak jauh dari cafe di mana ia bekerja, mungkin hanya berjarak empat sampai lima gedung kecil.
Saat Adira masuk, terdengar suara bell kerincing yang selalu berbunyi saat seseorang masuk ataupun keluar. Bukannya otomatis, itu bell biasa yang dibuat manual dengan posisi yang strategis agar bisa ikut tergerak saat pintu didorong ataupun ditarik.
Pengunjung di cafe cukup sepi, karena ini adalah jam di mana orang-orang tengah sibuk bekerja ataupun menempuh pendidikan, pukul sembilan lebih dua puluh empat menit.
Tidak ada tanda-tanda keberadaan Alika, karena memang bukan saatnya sift Alika di mulai. Hanya ada enam orang yang tengah sibuk bergumul dengan perabotan dapur untuk membuat berbagai pesanan.
Dan, hujan pun turun. Sangat menenangkan. Suasana dingin, cafe yang tenang dengan alunan music clasic yang memanjakan telinga.
Tiba-tiba seorang wanita yang lebih dewasa darinya menghampiri, Bu Riska. Jalannya cukup terburu dengan wajah yang memancarkan aura kekhawatiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adira
RomanceKata rindu menguap hilang bersama lembayung senja yang mengerikan, detik masih menjadi kendala terbesarku, dan dirimu masih tetap menjadi penyesalan terbesarku. Aku tahu jika masa tak akan mungkin abadi, dan perpisahan sudah datang di ujung perbata...