|Sembilanbelas|

7 3 0
                                    

•°•°•°•

Jikalau pagi tak menakdirkan kita bersama, maka tunggulah siang
Jikalau siang masih menguji, maka tunggulah petang
Jikalau senja pun belum mengizinkan, tinggallah malam
Jikalau malam tak juga mengatakan apapun, cukuplah dengan berbagi cahaya

Mungkin kita memang tak pernah ditakdirkan bersama
Terhalang sebuah sekat
Kau memberi cahaya dan kupantulkan
Hanya bisa menunggu hadirnya sang Gerhana

Terlalu puitis jika boleh dibilang. Bahkan, si pembuat puisi pun sedikit tergelak tatkala membaca ulang karyanya. Klise dan penuh diksi-diksi cheesy.

Namun, mau bagaimana lagi? Setelah sekian lama tak memiliki pikiran apapun, Fana merasa begitu stress hari ini.

Hari ini ponsel Fana berdering heboh. Berulang kali dia berusaha mematikan, tapi selalu ditelepon ulang. Dengan berat hati gadis yang akan berusia 22 tahun pada bulan Desember itu terpaksa menjawab panggilan dari nomor tak dikenal.

"Halo?" Tak ada balasan dari ujung sana. Selama beberapa menit Fana berusaha menahan kesal. Namun, sepertinya si penelepon sedang ingin menguji tingkat kesabarannya yang sebenarnya cukup minimalis. "Halo-halo Bandung Ibu Kota Periangan. Halo-halo Bandung, kota kenang-kenangan. Sudah lama beta tidak berjumpa dengan kau. Sekarang telah menjadi lautan api, MARI BUNG JAWAB TELEPONNYA!"

Kekehan pelan terdengar dari seberang. Suara itu ... bentuk seperti singa dengan coretan warna-warni menghiasi ....

" Saya tidak mengerti itu lagu apa, tapi sepertinya kamu sedang mengejekku, ya?" Wang Hongli Ho. Mendadak Fana mati kutu. Bahkan bibirnya terasa begitu kelu untuk mengucapkan sepatah kata pun.

" Lho, kok diam?" Reaksi Fana mendapatkan hadiah berupa suara tawa khas bapak-bapak. Saking kencangnya tetangga kamar sebelah sampai menegurnya. Padahal, Fana sama sekali tak menghidupkan mode loudspeaker. Sungguh luar biasa. " Eh, maaf, tapi bisakah kamu datang ke kantor? Jangan pakai alibi ini hari libur kecuali kamu mau saya putuskan hubungan mitra."

Petir seolah menyambar hingga ke dasar hati seorang Thana Fana Aphrodita. Sepertinya ini jauh lebih sakit dibandingkan diputuskan oleh kekasih hati. Kenapa menggunakan kata 'seperti'? Tentu saja karena selama 21 tahun hidupnya di bumi, Fana belum pernah sekali pun berpacaran dengan manusia yang bukan tokoh anime. Boro-boro mengurus orang lain, merawat diri  sendiri saja dia malas.

"Tidak perlu repot-repot memecat, Tuan. Saya akan datang kurang dari 15 menit. Janji."

Di seberang sana seringai Wang Hongli Ho telah tercetak lebar.

•°•°•°•

Sesosok gadis tampak menengadahkan kepala menatap langit-langit. Di sebelahnya seorang pria tua mengetuk-ngetuk arloji di tangannya. Jelas terlihat gurat-gurat kebosanan dari wajah keduanya.

"Hei, apa dia masih lama?" tanya si gadis sembari menguap.

"Harusnya, sih, tidak." Hongli yang sedari tadi sibuk mondar-mandir mengeluarkan suaranya. Matanya melirik ke gudang nan dialih-fungsikan menjadi kamar ganti. Menunggu seseorang selesai bersiap.

Tak lama kemudian tampak sesosok manusia keluar dari ruangan tersebut. Sekilas parasnya terlihat maskulin. Namun, segondol anting yang menggantung di telinga menyiratkan sebaliknya.

Sinestesia [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang