|Delapan|

23 5 0
                                    

•°•°•°•


Bingung menyeruak menyergapi benak. Jutaan tanya berputar mengelilingi isi otak. Seingat Fana seluruh anggota keluarganya tak memiliki satu pun penyakit serius serta menjalani pola hidup sehat aktif, kecuali dirinya tentunya, jadi kecil kemungkinan dia punya gen jantung koroner.

Juga Fana tidak ingin menjadi yang pertama.

Mungkinkah hal ini yang dinamakan 'cinta'? For God's Sake, di mana sisi romantis dari menyeret seseorang bagaikan karung goni? Alih-alih terlihat manis, Yazhu justru seperti seorang preman kampung yang kebetulan ditugasi membawa barang belanjaan sang bos utama.

Di sisi lain Yazhu sibuk menelisik wajah sang kawan lekat-lekat. Rona kemerahan di pipi Fana menghilang, terganti oleh ekspresi khas orang gelisah. Seingatnya dia hanya menugaskan cewek kelebihan malas itu untuk menyemprotkan cairan serangga. Harusnya tidak terjadi apa-apa, bukan?

Ah, tapi ini seorang Fana. Daya tahannya begitu rendah, bahkan jauh lebih rentan dibandingkan bayi baru lahir. Jangankan bersih-bersih rumah, berdiri di tengah terik matahari kurang dari lima menit saja tubuhnya sudah menguning. Apalagi menghirup aroma cairan anti serangga. Bisa-bisa gadis 21 tahun itu kejang-kejang.

"Jangan mati," pintanya sembari mendekap tubuh sang sahabat seerat mungkin. Ritme jantung Fana semakin tak beraturan bagaikan tengah berpacu dalam balap kuda. Menyadari hal itu Yazhu semakin histeris. "Kamu boleh makan semua dim sum -ku. Kamu juga boleh menyerahkan seluruh tugas bersih-bersih, dengan senang hati malah, tapi tolong jangan mati dulu. Bisa habis aku dikeroyok Papi, Mami, Ayah, apalagi Bunda. Please."

Fana tidak sanggup berkata-kata. Pipinya mulai terasa memanas. Perlahan, penglihatannya memburam, lalu mendadak tersungkur nyaris membentur lantai. Untung saja Yazhu yang sedang bermain drama dengan sigap menangkap tubuh Fana sebelum benar-benar mencium ubin.

"Bunda, Yazhu tidak habis membunuh anak orang, 'kan?" lirih cowok itu histeris.

•°•°•°•


Pemuda bermata minimalis itu sibuk mondar-mandir seperti seseorang yang sedang memikirkan cara memisahkan jerami dalam tumpukan jarum. Sesekali dia mengacak rambut frustrasi. Jika ini anime, maka akan ada sebuah awan hitam nan menaungi kepala makhluk hidup berparas menawan.

"Hayoloh, kamu apakan anak orang sampai dua hari begini belum bangun-bangun juga?" Suara itu ... Yazhu selalu hapal bagaimana 'nakalnya' nada yang terselip dalam ucapan si wanita. Bak disambar petir, pemuda itu menoleh. Ekspresinya tak jauh berbeda dari pada seorang maling uang arisan Ibu-Ibu kompleks seberang. "Kalau Gendis sama Yudhistira mengomel Bunda tidak mau tanggung jawab, lho, ya."

"BUNDA!"

Yazhu mulai senewen. Apa Shafa tidak bisa 'sekeren' Ibu-Ibu lainnya? Bukannya menenangkan, atau paling parah memarahi, justru Yazhu malah digoda. Jika dirinya memiliki jenis kelamin wanita, sudah bisa dipastikan sekarang dia memasuki mode senggol bacok.

"Bunda, kan, dokter. Bawa, dong, Fana ke Rumah Sakit. Atau minimal ke klinik, lah," sungut Yazhu.

"Justru karena Bunda dokter makanya cukup dirawat di rumah saja. Lagipula kalau ke klinik pasti dikasih obat-obatan. Yang ada Gendis malah marah. Misuh-misuh gigi anaknya tambah kuning gara-gara antibiotik," cerocos Shafa dalam satu helaan napas. "Toh, belum emergency juga ini."

"Emergency?"

"Darurat kayak pendarahan, Yazhu kesayangannya Bunda. Duh, kok, anakku dodol amat, ya?"

"BUNDA, IH!" seru Yazhu jengkel. Bukannya meminta maaf Shafa malah terbahak. Seolah kemarahan sang anak adalah sebuah lelucon di matanya. "Bilang saja Bunda malas keluar uang. Dasar Padang pelit!"

Noushaafarina Xynerva menghentikan tawanya. Mata hitamnya membulat. Menandakan babak bersenang-senang telah terhenti. "Bunda tidak pernah mengajari kamu jadi rasis, Li Yazhu Jing!"

Yazhu meringis pelan, "Maaf."

"Ya sudah, siap-siap sana. Kita mau pergi ke rumah Oma sama Opa. Kamu angkat Fana ke kursi belakang, gih," suruh Shafa.

"Lho, jadi hari ini?!"

"Iya. Cepat siap-siap. Kalau dalam waktu 30 menit kamu tidak siap juga Bunda tinggal pergi sama Ayah dan Fana, lho, ya. Mau tinggal berdua sama Mbak Kunti?"

Cowok itu mendadak kicep. Tidak elit juga makhluk tampan bergelar Pangeran Kampus diincar Kuntilanak centil penghuni pohon pisang.

•°•°•°•

Tidak ada yang salah dari membawa buah tangan tatkala berkunjung ke rumah seseorang. Namun, jika si tamu mengenakan setelan hitam sembari menggenggam sebuket anyelir disertai beberapa uang tunai, Oma jadi tak mampu membendung rasa penasarannya.

"Wah, cucu kesayangan Oma datang," sapa wanita 80 tahunan itu hangat. "Lho, kok, kalian pakaiannya hitam-hitam begini? Siapa yang meninggal?"

"Tidak ada, kok, Bu." Chen yang menjawab. Senyuman manis tersungging di pipinya. Menyiratkan rindu mendalam pada kampung halaman.

"Kalau begitu kenapa kalian bawa bunga sama uang kayak mau kasih santunan ke keluarga orang mati begini?" Kali ini Opa yang mengeluarkan suara.

"Tadinya, sih, kita mau membelikan Oma sama Opa lily putih. Tapi, adanya cuma ini. Ya sudah, beli anyelir saja."

"Oh." Oma ber-oh ria. "Oh iya, calon menantu Oma mana? Kangen sudah lama tidak mendengar cerocosannya itu."

"Yazhu sudah putus sama dia, Oma."

"Lah, memangnya kalian pernah pacaran? Kok tidak memberi tahu Oma, sih?"

Yazhu mengernyit heran. Seingatnya dia sudah memberi tahu bahwa dirinya telah jadian dengan Arabella. Mengapa Oma bisa lupa? Seingatnya nenek dari ayahnya ini memiliki ingatan bagus untuk ukuran orang tua seumuran beliau.

"Aku sudah kasih tahu, lho, tentang Ara. Masa Oma lupa, sih?"

"Ya elah, yang Oma bicarakan bukan dia. Tidak sudi Oma punya menantu sok pintar macam buah ara itu."

Yazhu menepuk jidat dramatis. "Pa, Oma dikasih makan apa, kok, jadi bar-bar begini?"

Opa hanya terkekeh pelan. Gurat-gurat ketampanan masih terpancar dari wajahnya yang telah menua. Wajar, karena jika tidak berparas menarik, maka Yazhu tidak akan mengakui beliau sebagai kakeknya. Durhaka memang.

"Mulutmu mau disumpal sambal, ya? Maksud Oma itu Fana. Sahabat sehidup sematimu itu, lho."

Fana? Otak Yazhu, Shafa, dan bahkan Chen sekali pun memproses lambat nama tersebut. Tak lama kemudian suara gedoran terdengar. Membuat syaraf-syaraf kepala mereka kembali berfungsi normal.

"FANA!" pekik ketiganya tersadar.

~oOo~

WPWT 1
Romance 1
By. PrincessParody

Sinestesia [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang