|Duapuluh|

13 3 0
                                    

•°•°•°•

Andaikan saja Nyi Roro Kidul nyata adanya, sudah pasti Fana akan meminta pertolongan dari sang penguasa Pantai Selatan. Dia sangat ingin menciumi tanah Ibu Pertiwi, lalu pergi bersemedi ke Gunung Semeru untuk memohon ampun atas segala kekhilafannya baik yang disengaja maupun yang disengaja.

Entah dosa macam apa yang ia lakukan di kehidupan sebelumnya sampai-sampai catatan hidupnya bisa seriweuh ini. Perasaan dia tidak pernah membunuh hewan (kecuali semut atau nyamuk) apapun selama detik-detik kehidupannya.

Apa Fana harus menenggelamkan diri di Pantai Carocok dulu agar nasib kelamnya berakhir?

"Capek." Dibandingkan dengan keluhan suara Fana justru terdengar seperti bisikan. Bagaimana tidak? Kepalanya saja sudah hampir tenggelam ditutupi boneka Teddy Bear dan ragam aksesoris lainnya.

"Hah?" racau Lian. Mulutnya masih sibuk mengulum lolipop. Rasa manis campur sedikit asam akibat terkena tetesan keringat benar-benar membuat gadis bantet itu mendesah kenikmatan.

"Capek!" ulang Fana sedikit menaikkan intonasi.

"Apaan, sih? Kamu bicaranya tidak jelas tahu."

Urat-urat leher Fana telah bersatu padu membentuk pulau-pulau nusantara. Barang-barang di lengannya ia turunkan. Matanya memelotot penuh kebengisan. "DEN LITAK A, TUMBUANG!"

"Pakak bana kau jadi urang."

Lian cengo. Beberapa detik kemudian tawanya meledak. Begitu keras hingga mengalahkan toa super market yang mengajak pelanggan untuk menghambur-hamburkan uang di dalam tokonya.

"Kamu sedang memakiku, ya? Hahaha."

Sinting memang. Lagi-lagi Fana berusaha memaklumi tingkat kewarasan makhluk hidup di sekelilingnya. Orang waras harus mengalah pada yang kurang berakal, bukan?

"Aku iri padamu." Fana berusaha menahan sesak yang menjalari seisi kerongkongannya. Perih menusuk dada begitu kejam. Membuatnya harus menghela napas dalam untuk meminimalisir suara tercekat. "Kamu cantik, meskipun rada cebol. Kamu pintar, dalam memanipulasi terutama. Kamu juga kaya, terbukti dari caramu memanipulasi Tuan Wang menggunakan gepokan-gepokan uangmu."

Tawa miris lolos dari bibir mungilnya. Merutuki kebodohannya dalam memerankan lakon drama dari sang Pencipta. Kadang kala dia meminta Tuhan untuk menukar perannya menjadi aktor komedi, akan tetapi tak kunjung dikabulkan oleh-Nya. Fana malah dipercaya untuk memainkan genre drama yang jatuhnya jadi super duper klise menye-menye.

Ya sudahlah, namanya juga nasib.

"Iya, ya? Kalau ini di Wattpad mungkin orang-orang sudah melabeliku too good to be true kali, ya," kekeh Lian kegelian.

"Kamu tahu tidak kenapa ada ungkapan, 'tak ada manusia yang sempurna'?" tanyanya disertai kerlingan menggoda.

Dengan lugunya Fana menggeleng. Dia mengernyitkan dahi dan memiringkan kepala. Seolah meminta jawaban atas pertanyaan teka-teki Lian.

"Itu ... karena ...."

Jawaban tersendat-sendat tersebut membuat Fana semakin penasaran. Sesaat dia melupakan rasa cemburu yang mengusik sanubari. Menyadari betapa penasarannya Fana, Lian bertambah semangat menggoda sang teman kencan. "Seluruh kesempurnaan telah berkumpul padaku! Bwahahahahahaha!"

Ambyar sudah rasa penasaran dan drama kecemburuan yang sudah Fana tata seapik mungkin. Ingin sekali rasanya dia meninju habis-habisan wajah menyebalkan Zhi Lian Si untuk menyalurkan kekesalannya.

"Gyahaha. Jangan terlalu membawa perasaan, karena sesungguhnya dahulu aku pun memiliki kekurangan."

"Kalau sekarang?"

"Sudah lenyap digencet kesempurnaan," guraunya lagi. "Tapi, serius. Di dunia ini tak ada seorang pun yang bisa mendaki tangga  kesempurnaan. Kita hanya bisa mendekati. Contohnya, aku yang tinggal satu anak tangga lagi menuju kesempurnaan."

Deringan telepon menginterupsi sabda Lian. Setengah jengkel dia meraih ponsel cerdasnya. Tatkala mata dan otaknya berhasil mengidentifikasi nomor dari sang pemanggil, bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman lebar. "Halo?"

"Hai, Sayang."

Nada menggoda tersebut membuat Fana nyaris kehabisan napas. Lian sengaja menyalakan mode loudspeaker seolah ingin mempermainkan perasaan seorang Thana Fana Aphrodita.

Sesekali Fana menginginkan kemampuannya mendeteksi warna suara orang bisa menghilang. Warna merah dengan campuran kecoklatan itu selalu terkenang, meskipun dia berusaha melupakannya demi ketentraman hatinya. Namun, nihil lah yang ia jumpa.

Lucifer.

"Tumben kamu telepon. Kenapa, Beb ?"

"Kangen dengar suaramu. Masa orang pacaran tidak boleh telepon kekasihnya, sih?"

"Gombal kamu," lirih Lian dengan wajah tersipu. Dia memandang sejenak ke arah Fana. Sorot keisengan terpancar di air mukanya. " Beb, tipe pacar kamu yang kayak bagaimana, sih?"

Bola mata Fana melotot hingga nyaris keluar dari sarangnya. Dia mendelik tajam ke arah Lian. Seolah tatapannya mampu membunuh gadis bertubuh cebol itu.

Namun, yang ditatap justru terlihat santai. Membuat Fana semakin gemas saja.

"Kenapa kamu bertanya begitu?"

"Memangnya tidak boleh, ya, bertanya ke pacar sendiri?"

"Bukan begitu!" Ada sedikit ragu dalam nada Yazhu. Hening selama beberapa saat. Tak lama kemudian dia melanjutkan kata-katanya, "Aku suka cewek yang pintar masak, rajin bersih-bersih, hobi berkebun, dan semacamnya begitu. Tipe-tipe yamato nandeshiko, lah."

Ada bunyi kretekan yang muncul dari salah satu organ dalam Fana. Air mata mulai menitik tatkala menyadari tak ada satu pun kriteria yang berhasil ia sanggupi. Rasanya ... Fana ingin mati saja.

Dia berlari sekuat tenaga. Meninggalkan barang yang belum ia bayar (itu urusan Lian). Meninggalkan pula Lian yang tengah mengukir seringai misterius.

Dimarahi oleh Wang Hongli Ho akibat meninggalkan pelanggan sebelum sesi berakhir? Bodo amat. Perintahnya saja tidak jelas begitu. Apa pula yang pria itu pikirkan saat menyuruhnya melayani Lian? Perlu dicatat, Fana sama sekali tidak memiliki penyimpangan orientasi seksual ataupun berniat untuk memulainya hari ini.

Dikeluarkan dengan tidak terhormat sekali pun Fana sudah tak peduli. Yang dia tahu hanya satu, hatinya sakit dan memerlukan pelampiasan berupa menangis semalam suntuk.



WPWT 1
Romance 1
By. PrincessParody

Sinestesia [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang