|Duapuluh Empat|

202 6 0
                                    

•°•°•°•

Kenyataan demi kenyataan menampar halus benak. Kupu-kupu beterbangan di dalam dada. Menimbulkan sensasi euforia yang tak mampu dijelaskan dengan untaian kata, maupun pengungkapan lainnya.

Tanpa disadari kaki itu berlari. Sekuat tenaga meninggalkan tempat dimulainya kisah. Wajah memerah itu sebenarnya tak mengerti apa yang dilakukannya. Semua berjalan terlalu mengejutkan bagaikan sandiwara.

Bisakah seseorang jelaskan ada apa sebenarnya?

Biarlah belasan pasang mata menatap ke arah dirinya. Biarlah dirinya dihujani sorot kebingungan. Biarlah ia berlari tak tentu arah bagaikan orang gila.

Sesekali kakinya tersandung kakinya sendiri. Kemurnian kaos putih tulang sirna begitu saja. Kumpulan debu menghiasi baju manisnya. Namun, biarlah saja. Toh, ia bukan Cinderella yang wajib menjaga keanggunan. Dia hanyalah Thana Fana Aphrodita. Gadis aneh nan pemalas dari sebuah negeri bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sama sekali tak memiliki darah keturunan ningrat.

Ditolehkannya pandangan menelisik. Tak ada seorang pun mengejar. Terlalu percaya diri, bukan?

"Awww, sakit!" Nyeri mendadak terasa. Dialihkannya pandangan pada ujung kaki. Tampak sebuah memar kemerahan yang tak lama lagi akan bertransformasi menjadi keunguan. "Aduh. Memang, ya, bakatku itu berbaring seharian, bukannya lari-larian macam drama India."

Kekehan pelan lamat-lamat terdengar. Seketika Fana membalikkan pandangan. Matanya menangkap sesosok remaja wanita. Tubuhnya dibalut sebuah rompi yang kira-kira terbuat dari serat fiber atau mika. Sekilas bocah itu terlihat seperti sekumpulan besi tua.

"Habis lari dari kenyataan, ya, Kak?" Fana memandangi rompi bocah tersebut penuh kagum. Rasa sakit di kakinya seolah sirna ditepis fantasi nan meliar. Bila benda itu dijual berapa kira-kira yang akan Fana dapatkan?

"Kenapa lihat-lihat? Kakak mau pinjam, ya? Sorry, bukannya sombong, tapi brace -ku ini mahal, lho. Kakak tidak akan mampu membelinya." Meskipun, mengklaim sedang tidak menyombongkan diri, entah kenapa ada nada-nada angkuh di balik nada suara gadis itu.

Rasanya Fana ingin sekali memukul tubuh si bocah sekuat tenaga, tapi tidak jadi. Alih-alih si target kesakitan, bisa-bisa tangan Fana yang hancur duluan.

"Matanya seram amat, sih. Lagi pula Kakak, kan, bukan skolioser. Buat apa juga mau pakai beginian? Syukuri apa yang ada hidup adalah anugerah," senandungnya menyanyikan lagu dari salah satu band asal Indonesia.

"Kamu tahu lagu D' Masiv?"

"Tahu, lah. Sipit-sipit begini aku juga orang Indonesia tahu. Jangan rasis makanya jadi orang," omelnya.

Fana bertepuk tangan antusias. Melihat orang setanah air yang sedikit lebih waras dibandingkan teman-temannya membuatnya merasa bangga menjadi warga negara Indonesia. Tadinya, sih, Fana mau memprotes presiden NKRI kenapa rakyat-rakyatnya banyak yang slengean. Namun, pada akhirnya tetap tidak jadi. Keberanian Fana belum sebesar itu.

Sejenak Fana melupakan kebimbangannya.

"Heh, bocah namamu siapa?" Yang ditanya memalingkan wajahnya. Cebakan kesal lolos dari bibir mungilnya. Kekesalan jelas terlihat dari ekspresinya. "Kalau ditanya sama orang tua itu jawab, woi!"

Sinestesia [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang