|Duapuluh Dua|

17 4 0
                                    

•°•°•°•

Bagaikan petir di siang bolong, gadis 21 tahun itu membulatkan bibirnya tak percaya. Disenggolnya tulang rusuk sang teman sekuat tenaga. Tidak pelak tindakannya mendapatkan reaksi berupa pelototan marah campur kesakitan.

"Apaan, sih?" Fengying mengeluarkan protesnya. Aduhan pelan lolos dari bibirnya. Sesekali dia mengusap tulang rusuknya. Jika ditambah sedikit lagi tenaga, bukan tidak mungkin sikutan Fana dapat membunuhnya. Minimal patah tulang lah.

"Mulutmu dijaga sedikit, lah." Gadis itu mendekatkan bibirnya ke arah telinga Fengying. Setengah berbisik dia mengucapkan kata-kata keramat. "Memangnya kamu mau dikasih sad ending atau dibunuh secara mengenaskan? Makanya, diam dulu."

Seketika pemuda bantet itu tersadar. Ditepuknya jidat merutuki kebodohannya. Sembari berusaha mengalihkan perhatian dia merangkul pundak Fana.

"Heh, kita lanjut cerita-ceritanya di rumah si siapa, tuh, namanya ... Katsu? Bagaimana?"

"Namanya Yazhu, Bapak Xai Fengying yang terhormat," ralat Fana sedikit sewot.

Bagaikan raja di drama-drama kolosal, Fengying mengangguk-ngangguk takzim. Diusap-usapnya dagu yang tak berbulu itu perlahan. Melihatnya membuat Fana ingin muntah saja. "Nama rakyat jelata itu tidak terlalu penting. Pokoknya kita ke rumahnya saja."

Kekesalan Fana memuncak hingga ubun-ubun. "Buat apa coba? Memangnya kamu mau melamar dia jadi selir?"

"Rakyat jelata tidak boleh membantah."

Andaikan saja membunuh itu dihalalkan, maka sudah dari lama nyawa Fengying ia lenyapkan.

•°•°•°•

Alangkah terkejutnya hati Fana tatkala matanya mendapati enam sosok tak asing. Jantungnya serasa ingin melompat. Mengucapkan salam perpisahan akibat terlalu kagetnya.

Beberapa kali dia menepuk pipi. Berusaha memastikan apakah ini realita atau justru ilusi. Merasakan sakit perlahan menjalari pipi, ia menemukan sebuah kesimpulan. Ini bukanlah mimpi.

"Mami?" Cengo menghinggap tatkala dirinya mendapati sosok Gendis, Shafa, Oma, Opa, Lian, dan ... Yazhu berbaris bagaikan pasukan pengibar bendera. Satu per satu dari mereka memberikan salam hormat. Seolah Fana adalah presiden negara yang wajib diberi arak-arak.

Shafa, Oma, Opa, Yazhu, bahkan Lian sekali pun Fana sudah tak kaget. Empat dari mereka adalah keluarga penghuni rumah asli. Sedangkan salah satunya, meskipun hubungannya masih abu-abu, Lian tetaplah kekasih Yazhu. Sangat wajar bila dia turut berkunjung ke rumah ini.

Namun, kenapa Gendis bisa berada di sini? Angin apa yang membawa mami dari Fana itu hingga bisa datang kemari? Padahal seingat Fana, Gendis sangat tidak suka menggunakan teknologi bernama pesawat terbang. Membuat mabuk katanya.

"Salam, Mami mertua!" Fengying mengerlipkan manik jenaka. Dia membungkukkan tubuh 90°. Sedangkan tangannya menggenggam milik Gendis lalu menciumnya mesra. "Papi mertua ada di mana, Mami mertua?"

Setengah cengo Gendis berusaha menahan geli. Dipandanginya Fana sok menelisik. Tatkala sampai di bagian perut, wanita paruh baya itu semakin menajamkan maniknya. "Jawab Mami dengan jujur, di sini kamu belajar atau justru hatsyi-hatsyian?"

"Astaga, aku tak menyangka pikiran Mami bisa sekeji itu." Akting ala aktris pemenang Oscar dipamerkannya. Fana menekuk bibir ke bawah dan wajah dibuat sememelas mungkin. Melihat reaksi sang putri, Gendis memasang ekspresi seolah ingin muntah.

"Kamu ingat tidak waktu Mami bilang tipe-tipe mukamu itu lebih cocok jadi ibu tiri Cinderella daripada orang terdzhalimi?"

"Ih, kejam. Papi mana, Mi? Kok tidak datang juga?"

Sinestesia [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang