|Duapuluh Tiga|

22 4 0
                                    

•°•°•°•

Dering telepon menginterupsi pembicaraan mengenai hikayat hidup mereka. Ah, tidak. Dibandingkan menginterupsi sepertinya lebih cocok jika disebut sebagai nada pertanda tamatnya cerita. Toh, kisahnya telah berakhir beberapa detik silam.

Dengah sigap Fengying mengambil ponsel cerdasnya. Elizabeth Athena. Cepat-cepat dia menaruh layar handphone tepat di telinga. Tak lupa ia menghidupkan mode loud speaker. Maklum saja, meski masih muda tingkat pendengarannya jauh di bawah batas normal manusia.

"Halo?"

Baru saja dia mengucapkan salam, teriakan mematikan dihadiahkan pada kedua cuping telinganya. Saking kencangnya bahkan Opa yang sudah sedikit budeg juga berada di kamar mandi bisa mendengar. Penyanyi seriosa? Jelas kalah. " Heh, buruan ke pos satpam di kompleks Perumahan Mawar Melati Semuanya Indah! Satpam tua bangka ini terus merecokiku dengan pertanyaan-pertanyaan tak masuk akal! TOLOOOOOONG !"

"Anak-anak zaman sekarang, sudah tidak mengerti bagaimana tutur kata yang sopan pada orang tua," gerutu sebuah suara yang disinyalir sebagai 'satpam tua bangka' versi Athena.

Berulang kali Fengying mentap layar ponselnya. Berulang kali pula ia menjumpai nama Elizabeth Athena. Pusing menjalari seisi kepalanya. Sejak kapan Athena mampu berkata kasar pada sepupu tersayang?

"Ih, kok, diam saja, sih? Tolong, dong. Ini bapak-bapak kurang belaian memarahiku terus. Awww, jangan dijewer telinga saya, Pak! Sakit tahu."
"Aduduh! Sakit, ih, Pak, sakit!"

Sembari memegangi kepalanya yang mulai berdenyut Fengying berjalan menuju keluar. Tentu saja ditemani dengan Shafa, Yazhu, Gendis, Oma, Opa, Fana, dan Lian yang mengenali lingkungan sekitar perumahan ini. Mengapa Lian termasuk? Ya, biasalah. Tipikal makhluk hidup seperti ini jika ditinggalkan sendiri di rumah, maka tidak berlebihan bila dikhawatirkan akan terjadi masalah susulan.

•°•°•°•

Tiga orang bocah bau kencur terlihat mengelilingi sesosok wanita. Di belakangnya tampak seorang bapak-bapak beratribut lengkap menahan lengannya. Dengan diiringi dengan tawa anak-anak juga isakan dari si wanita, situasi menjadi semakin mirip cuplikan-cuplikan drama ilahi.

"Kakak, kok, bisa sampai di sini?" Fengying tampak cengo tatkala melihat penampilan acak-acakkan sang sepupu. Rambutnya yang terurai kini menyerupai benang kusut. Peluh mengalir membasahi setiap sudut kepala hingga menimbulkan kesan lepek.

"Ini gara-gara kamu minta dibelikan bunga tahu tidak?! Dari tadi sudah kubilang kalau mau kasih alamat pakai Google Maps saja, eh, malah digambarkan. Aku tidak bisa membaca peta, Dodol!"

"Sorry," pinta Fengying dengan wajah bersalah. Diliriknya sekilas ke arah Shafa yang sedang sibuk meyakinkan satpam bahwa Athena bukanlah penculik anak-anak. Sembari memejamkan mata dia berdoa semoga kali ini The Power of Emak-Emak juga berhasil. "Tapi, kayaknya ini bisa jadi pelajaran buat Kakak. Kalau lagi pramuka materinya diperhatikan, jangan kebanyakan menggombali Pembina mentang-mentang Kakak Pembinanya ganteng luar biasa."

Athena membuang wajah kesal. Dia lebih memilih menyaksikan perdebatan antara Shafa dan satpam. Kalau ada tontonan gratis kenapa harus repot-repot menonton drama artis di televisi?

"Harus berapa kali lagi saya bilang cewek itu tidak mencoba menculik anak-anak ini, Pak?"

"Harua berapa kali lagi saya katakan kalau dia ini nyaris mencekik anak-anak komplek sini?" Satpam itu menatap para bocah dengan isyarat. Seolah memahami maksud si pria paruh baya, mereka mengangguk sekuar tenaga. "Lihat sendiri, 'kan?"

"Kalau ditatap begitu juga saya pasti mengangguk ketakutan. Ingat, lho, ketakutan. Bukan kejujuran."

"Ibu menyindir saya?!"

"Iya."

Debat belum menunjukkan tanda-tanda akan selesai. Mereka masih sengit dengan argumen masing-masing. Tampaknya drama akan semakin memanas apabila Fana sempat membawa ponselnya dan mengunggah kejadian ini ke bilik sosial media.

"Oh iya, untuk apa kalian membawa bunga?" Fana membuka suara. Dialihkannya pandangan ke arah dua ikat bunga. Sama-sama lily, akan tetapi berlainan warna. Satu putih dan satunya kuning.

Fengying, Athena, dan Yazhu saling berpandangan. Kedipan isyarat dilontarkan Athena. Mereka mengangguk seolah mengerti maksud dari kedipan tersebut.

"Jadi begini ...," gantung Athena.

"Kami ingin kamu memilih ...," sambung Fengying masih menggantung kata-katanya.

"Lily putih ataukah kuning?" pungkas Yazhu mengakhiri.

"Hah?" Kebingungan jelas terlihat dari wajah Fana. Ditatapnya trio itu penuh keheranan. Apa yang terjadi?

Memahami keheranan Fana Yazhu menjelaskan, "Aku tahu kapasitas otakmu minimalis, tapi tolonglah mengerti sedikit. Kami sedang berusaha melamarmu. Lily putih dariku dan kuning dari si cebol ini," tunjuknya pada Fengying.

"Siapa yang kau sebut cebol?!"

"Tentu saja kau!"

Fana ... pusing.

"Bagaimana dengan Lian?"

"Oh ayolah, cewek seperti dia asalkan ganteng, mau perempuan atau laki-laki pasti diembat. Buktinya dia menempel terus ke Opa kayak perangko cuma gara-gara agak tampan. Padahal, sudah ada pawangnya, tuh." Yazhu menatap geli pada 'kekasihnya' yang terus mendekati sang kakek. Belum tahu saja murka Oma semengerikan apa. Bisa-bisa satu dunia hancur lebur sebelum kiamat muncul.

Ya Tuhan, tolong berikan Fana kemampuan menghilang sekarang juga.





WPWT 1
Romance 1
By. PrincessParody

Sinestesia [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang