|Empat|

87 9 0
                                    

•°•°•°•


Pelototan garang ditujukan pada pria yang tengah bercengkerama. Percakapan terputus begitu saja. Mendadak keadaan berputar 180°.

Ingin sekali rasanya Fana menyalimi Dewi Fortuna, lalu meminta maaf sebesar-besarnya. Air mata menitik dramatis. Sedari kecil gadis itu telah skeptis pada dewi yang dianggapnya hanya sibuk berdansa dan mengabaikan para pemujanya. Rupanya kali ini Fana tertampar sengatan tak terdefinisi bernama realita.

"Sejak kapan kantor Papi pindah ke hotel esek-esek begini?" Senyum mematikan dihadiahinya. Ada nada jenaka dalam pertanyaan. Namun, semua tahu itu hanya pengalihan. "Kalau mau meeting bilang ke Mami, dong. Nanti dicarikan tempat yang lebih berkelas. Masa orang kaya rapat di hotel murahan?"

"Ini bukan seperti yang Mami lihat," sanggah Zhang sembari menirukan potongan adegan opera sabun.
Wanita paruh baya itu memiringkan kepala. Mulutnya membulat. Berakting seolah sedang dilanda kebingungan.

"Kok kedengarannya kayak adegan suami lagi menyelingkuhi istrinya, ya?" Wanita itu menempelkan telunjuk di pelipis. Perlu Fana akui, aksi sandiwaranya patut diacungi empat jempol termasuk kaki. Madonna jelas kalah. "Mami cuma komentari pemilihan hotel saja, lho. Papi salah tingkah, nih."

"Atau jangan-jangan selingkuh betulan?"

Zhang kehabisan kata-kata. Setelah menikah selama nyaris 45 tahun, tentu mudah baginya menebak kepribadian sang istri. Cerewet akut dan seorang Ratu Drama.

"Papi ... papi ... papi," ujar Zhang tersendat-sendat. Bingung akan memberi alibi apa lagi.

"Mami tahu, kok," lirih wanita bernama ... itu sembari terisak. "Di mana-mana kalau orang menikah dan tidak punya anak, pasti perempuan yang disalahkan. Padahal, mah, belum tentu."

"Ingat tidak waktu kita ke orang pintar? Sebagai tes kesuburan kita masing-masing dikasih satu telur. Punya Mami berdiri tegak. Kalau Papi? Silakan tebak sendiri."

"Itu kan takhayul, Mi. Tidak bisa dijadikan patokan," kilah Zhang.

Jia menepuk jidat pelan seolah menyadari kesalahannya. Tentu saja semua itu hanya akting belaka. "Iya juga. Ya sudah, coba Papi ingat-ingat lagi waktu berobat kemarin. Yang pas Mami periksa miom itu, lho."

"Waktu di USG rahim Mami bersiiiiiih sekali. Sehelai bulu masuk pun langsung kelihatan. Dokternya juga bilang kalau Mami, tuh, subur. Kemungkinan masalahnya ada di Papi yang notabene perokok aktif."

"Lagi pula kita sudah mengadopsi Fengying Masih kurang?" lanjutnya.

"Mi ...."

Fana berusaha menulikan telinga sejenak. Jengah juga mendengar semua pertengkaran tak masuk akal ini. Thana Fana Aphrodita hanyalah seorang gadis 'normal' dengan sedikit stok malas berlebih. Kenapa sekarang dia malah terlibat hal-hal menguras energi begini?

"Kukira hal-hal mistis macam berdirikan telur jadi patokan kesuburan cuma ada di Indonesia," gumam Fana pelan.

"Memang." Bak jailangkung yang habis dinyanyikan Athena muncul secara mendadak. Untung saja Fana tidak jantungan. Jika benar begitu, mungkin batu nisan atas nama Thana Fana Aphrodita sudah dibangun keesokan harinya. "Mereka pernah ke Indonesia untuk urusan bisnis."

"Setali tiga uang, dicarilah semacam orang pintar untuk mendapatkan anak. Namun, bisa ditebak mereka gagal. Setengah putus asa akhirnya Tuan dan Nyonya Xai memilih mengadopsi anak. Sudah tua juga, sih, waktu itu."

Fana mengangguk seolah paham. Aslinya dia tidak mengerti satu kata pun. Daripada didamprat, 'kan?

"Tumben cerewet."

"Jadi mau kujawab pendek-pendek? Ok."

"Sensi amat jadi orang. PMS, ya?"

Athena diam sejenak. Mengobrol dengan Fana sama seperti mengurangi setengah sisa hidupnya. Melelahkan. "Mau karaoke?"

"Lah, terus orang-orang tua itu bagaimana?"

"Biarkan saja, lah. Nyonya Xai kalau lagi marah menyeramkan sekali. Kita bisa mati jika tidak cepat-cepat kabur," ucap Athena sedikit mendramatisi. "Lagi pula kamu sudah sempat melayani, walaupun cuma basa-basi."

Akhirnya, Fana memutuskan menurut. Lama-lama di sini sama saja seperti menumbalkan diri untuk cepat mati. Sebagai catatan Fana sedang tidak ingin meninggalkan dunia dalam waktu sedemikian singkat.

•°•°•°•

B-I-N-G-O
B-I-N-G-O
B-I-N-G-O
And Bingo was the name O

Semburat kemerahan menyembur di pipi. Senyum kecut setengah geli bercampur dongkol melebur jadi satu. Untung saja ruangan karaoke kedap suara. Jika tidak, maka bisa dipastikan tatapan heran akan terlontar.

"Childish," gerutu Athena pelan. Dia berusaha menahan jemari untuk tidak mencubiti pipi tembam Fana. Selain berwajah lugu khas anak-anak, tingkah polanya tak jauh berbeda dengan balita yang baru belajar 'mencopet' dompet ibunya akibat kekurangan uang jajan.

"Lagunya bisa lebih dewasa sedikit tidak?" ringis Athena.

"Nenek yang super duper dewasa lagi bijaksana, bisakah dikau menunjukkan pada cucumu ini seperti apa lagu orang 'dewasa' itu?" balas Fana ala pujangga labil kemarin sore. Air wajahnya yang 'sedikit' imut membuat Athena semakin penasaran. Apakah pipi Fana seempuk kelihatannya?

Athena menarik napas panjang. Berusaha menetralkan suara sebelum memulai ritual karaokenya. Beberapa menit dihabiskannya dengan olah vokal standar. Sedikit membosankan memang, tapi harga diri seorang Elizabeth Athena tidak boleh jatuh terutama di hadapan gadis semacam Fana.

Max and Ruby
Ruby and Max
Max and Ruby
Ruby and her brother Max

Max and Ruby ....

"Jiah, gaya saja yang dilebihkan-lebihkan. Nyanyianmu itu tidak jauh beda dengan punyaku tahu, Nenek Tua!" Fana melayangkan protes. Enak saja lagunya dibilang kekanakan. Jika memang Bingo terlalu childish, lalu akan disebut apa lagu Athena tadi? Kebayian?

"Berhenti memanggilku 'Nenek' dasar kerupuk jamuran! Saya ini baru 33 tahun, lho. Masih kencang dan terawat. Kalah kamu ke mana-mana." Athena berkacak pinggang. Jika dirinya sudah dianggap setua itu, lalu bagaimana dengan para nenek sungguhan? "Setidaknya suara saya jauuuuh lebih bagus. Lagu anak-anak pun otomatis berubah jadi high class. Jelas beda, lah, kalau dibandingkan dengan kuaci menyanyi."

"Kebanyakan ngeles kamu." Fana lebih memilih membuka HP. Tujuannya? Ya cari lirik lagu 'dewasa', lah. Mukanya memang biasa saja, tapi harga dirinya ... sudah terpental jauh ke Pluto sana.

Saat membuka WhatsApp untuk mencari lirik lagu bersama Duta, Fana melihat sebuah nomor 'judi'. Wajahnya kontan memucat. Ditepuknya pundak Athena sedikit gemetar.

"Hei, menurutmu ini berbahaya tidak?" Fana menunjukkan isi percakapannya dengan nomor tak dikenal.

Unknown Number

Temui saya besok siang di tempat kemarin. Kita harus bicara.

Xai Jia Li

~oOo~

WPWT 1
Romance 1
By. PrincessParody

Sinestesia [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang