•°•°•°•
Sesosok bocah berkuncir kuda duduk termenung di bangku taman. Maniknya memandang sendu sekeliling. Di balik tatapan lugunya tersirat kepedihan begitu dalam.
"Jangan menangis, dasar cengeng!" Suara cempreng lagi mengusik gendang telinga itu tentu saja mengejutkannya. Dengan situasi hati tengah dirundung duka, perkataan itu semakin menambah kemelut di dada.
Dengan tampang sok berani gadis itu memasang kuda-kuda. Seolah dirinya adalah aktor laga Jackie Chan yang tengah menghadapi lawan-lawannya. Sambil memeragakan salah satu aksi silat dia berkata, "Kamu tahu siapa aku?!"
"Tanah Fana Aphrodita?" tanya sekaligus jawab bocah berdasi merah dengan lugunya. Telunjuknya menunjuk ke arah badge name si gadis, Thana Fana Aphrodita. Namun, berhubung lidahnya masih sedikit terpelintir jadilah dia menyebutkan, Tanah Fana Aphrodita.
Urat-urat Fana mencuat pertanda kesal. Apa tadi dia bilang? Tanah? Seenaknya saja mengubah nama sekeren Thana menjadi Tanah. Kesal di hatinya semakin menjadi-jadi.
"Kamu pem-bully juga, 'kan, kayak mereka? Mengaku saja, Lucifer." Air wajahnya mendadak sendu. Kuda-kuda bak karateka profesional lenyap bergitu saja. Terganti dengan air mata yang perlahan turun membasahi pipi. "Memangnya salah, ya, kalau aku bisa lihat warna suara orang? Kalau boleh memilih aku juga tidak mau punya sinestesia begini."
Kernyitan tercetak di dahi si bocah. Matanya mengerlip lugu. Pertanda tak memahami maksud si gadis. " Bully? Sinestesia? Apa artinya semua itu?"
Ingin rasanya Fana menceburkan diri ke kali terdekat. Dalam hati dia merutuki kedodolan bocah laki-laki yang baru ia temui kurang dari lima menit ini. Setengah putus asa dia menunjuk sekelompok anak perempuan dan laki-laki sepantarannya. "Tanya ke mereka sana. Kalau soal bully mem-bully mereka pakarnya."
"Mereka cuma tahu bully, tidak? Aku, kan, penasaran juga dengan arti sinestesia."
"Ih, kamu ngeyel, deh. Kan aku suruh tanya mereka. Kenapa masih desak-desak melulu, sih?"
Pasrah, akhirnya bocah itu menghampiri kumpulan anak-anak yang ia taksir sebaya dengannya. "Eh, katanya kalian pakar bully mem-bully, ya? Bully itu artinya apa, sih? Sinestesia juga artinya apa?"
"Kamu siapa?" tanya anak perempuan dengan rambut pirang.
"Kok kamu bisa tahu kita ini pakarnya bullying?" tanggap cewek yang lainnya.
Satu-satunya laki-laki di antara mereka mengernyitkan dahinya. Dia menaikkan kacamatanya seolah-olah mengendus bau-bau kejanggalan. "Fana yang bilang, ya?"
Bocah yang menanyakan perihal bully dan sinestesia mengangguk takjub. Sejenak dia berpikir anak laki-laki itu memiliki kemampuan cenayang. Bahkan, sebelum ia menyebutkan siapa yang menyuruh, cowok itu sudah bisa menebak isi otaknya.
"Iya, kok, kamu bisa tahu? Namamu siapa? Dikasih makan apa sama Mamanya jadi pintar begini? Nanti biar aku minta Bunda masakkan makanan yang sama juga."
"Namaku Hilmi. Yang rambut pendek itu Philadelpia, panggilannya Via. Mirip nama kota pusat kesehatan itu, ya?" Hilmi menunjuk ke arah teman-temannya. "Terus yang rambut pirang sama kulit putih sekali itu namanya Dewi. Kadang aku suka curiga dia kena albino, tapi kayaknya tidak, deh. Buktinya dia bisa panas-panasan, malah doyan kayaknya."
"Aku Yazhu. Pindahan dari China." Bocah itu tersenyum lebar. Dia mengulurkan tangannya. Mengucapkan salam perkenalan. "Boleh kalian tunjukkan tidak apa itu bully sama sinestesia?"
Hilmi mengangguk takzim. Diberikannya kerlingan penuh arti pada teman-temannya. Seolah memahami maksud bocah itu keduanya menyunggingkan seringai menyeramkan.
Mereka menghampiri Fana. Mendadak tubuh gadis itu gemetar. Dia melempar tatapan penuh arti pada Yazhu, akan tetapi bukannya paham bocah itu justru mematung dengan polosnya. Kampret memang.
"Kamu bilang kita pem-bully, ya, ke anak baru?" Hilmi mengeluarkan suaranya. Kesinisan terdengar jelas dari dalam nadanya. Membuat tremor yang melanda tubuh Fana semakin hebat saja. "Kalau boleh tahu bagaimana warna suara kami?"
Fana membisu sejuta bahasa. Dalam hati dia merutuki kebodohan seorang Yazhu. Apa bocah itu tidak bisa menyusun kata yang tak menimbulkan kesialan? Ya Tuhan, salah apa Fana di kehidupan sebelumnya?
"Jawab!"
Kedua gadis mengerjakan tugasnya dengan senang hati. Via menjambak kencang rambut-rambut Fana. Di sisinya Dewi memegang tangan Fana agar dia tidak kabur.
Harus Fana akui, telapak tangan Dewi sangatlah kasar. Tidak ada lembut-lembutnya untuk ukuran seorang cewek.
"Hilmi, kamu tahu bentuk mata? Kira-kira seperti itu, tapi versi yang agak julingnya sedikit. Kalau Via warnanya putih seputih tulang terus ada lendir-lendir macam ingus begitu. Sedangkan Dewi kayak bercak-bercak luka bakar. Please, jangan ganggu aku," isak Fana tertahan.
Tendangan, jambakan, juga cacian semakin menjadi dari Via dan Dewi. Mereka berperan bagaikan kacung. Sedangkan Hilmi membalik badan ke arah Yazhu yang membatu sembari tersenyum. "Yang kami lakukan itu namanya bullying. Sedangkan masalah warna-warna suara tadi sinestesia.
Yazhu membisu selama beberapa detik. Saat kabel-kabel otaknya mulai tersambung, dia berlari kencang.
Bukan. Bocah itu tidak sedang kabur. Yazhu justru berlari mendekati tiga subyek yang baru ia ketahui sebagai pem-bully. Tangannya mengepal. Sebuah tinjuan melayang tepat di hidung dan kacamata Hilmi.
Biar saja meski tangannya harus terluka. Namun, sepertinya cukup tidak mungkin mengingat lensanya terbuat dari plastik. Hilmi? Dia berguling-guling sambil menangis kesakitan.
Yazhu menarik lengan gadis yang tengah mengalami perundungan itu. Melihat bosnya kicep, duo VD (baca: vede alias pede ) melepas mangsanya begitu saja. 'Pimpinan' saja kalah, apalagi 'kacung' rendahan macam mereka.
"Ke kantin, yuk. Aku yang traktir."
Tanpa sadar ada sebuah degup asing menjalari dada.
•°•°•°•
Tepukan tangan mewarnai seisi ruangan. Siulan menggoda terlontar dari bibir seorang pemuda. Sambil mengerling jenaka dia menatap lekat wajah si gadis.
"Wih, flashbacknya keren. Bagus, tuh, kayaknya kalau dijadikan novel," goda Fengying jenaka.
Fana berdecak sebal. Dipandangnya Fengying penuh kekesalan. "Menyesal aku menceritakannya."
"Ah, buat apa menyesal. Toh, di bab depan giliran aku yang bercerita. Iya tidak?"
Tanpa Fengying sadari tindakannya barusan dapat memicu juga amuk masa penulis.
WPWT 1
Romance 1
By. PrincessParody
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinestesia [END]
RomanceDi usia yang genap menginjak 21 tahun, pencapaian apa saja yang telah dilakukan? Lulus dari perguruan tinggi? Mendapatkan pekerjaan? Menghamili anak orang? Atau justru hanya bermalas-malasan ria? Thana Fana Aphrodita termasuk dalam kategori terakhir...